Seni, Bahasa, dan Dialog Antariman: Tiga Jalan Menuju Inklusivitas Beragama di Indonesia

Hasilnya menunjukkan, 85% mahasiswa merasa interaksi langsung dengan simbol-simbol Katolik dan sejarah perjalanan keagamaan ini secara lokal meningkatkan empati peserta didik terhadap keyakinan lain

Nilai-nilai luhur antaragama bisa menjadi milik bersama ketika sesama umat beragama merajut jalan inklusif. Pesan ini terbangun dalam Konferensi Nasional Akademik Sriwijaya (1st KONFAS) Tahun 2025, yang digelar pada 18-19 Juni 2025 di Kampus STABN Sriwijaya, Tangerang. Sebagai wujud implementasi kampus sebagai penghasil pengetahuan, KONFAS menghadirkan diskusi-diskusi segar tentang inklusivitas beragama, termasuk lewat tiga presentasi yang menawarkan solusi kreatif: pendekatan multilingual, seni ko-kreatif, dan pembelajaran langsung lintas keyakinan.

(Dok. Latifah/Melipirnews)

Baca juga: Terkesima Kemajemukan di Stesen Bas Nilai

Bahasa sebagai Cermin Keragaman Spiritual

Edi Ramawijaya dari STABN Sriwijaya Putra memaparkan penelitian berjudul Memuja Buddha di Indonesia: Identitas dan Entitas Multilingual di Nusantara. Menurutnya, perbedaan istilah dalam berbagai tradisi Buddhis—seperti Nirwana  dan Nibbana, dharma dan dhamma—bukanlah penghalang, melainkan ragam jalan menuju pencerahan yang sama.

Analisis sosiolinguistik ini mengungkap bahwa praktik keagamaan di Nusantara telah lama beradaptasi dengan konteks lokal tanpa kehilangan esensinya. Ritual  Buddha di satu daerah mungkin menggunakan istilah berbeda dengan daerah lain, tetapi keduanya tetap berporos pada prinsip dasar Dhamma. Hal ini mengajarkan kita untuk melihat perbedaan bahasa sebagai kekayaan, bukan ancaman.

Seni untuk Semua, termasuk Komunitas Bisu Tuli

Kolaborasi peneliti Muhammad Rhaka Katresna, Gutami Hayu Pangastuti, Victorhugo Hidalgo, dan Satya Aji dalam proyek Dhamma Through Art menyoroti dua hal: potensi seni sebagai medium pembelajaran agama dan tantangan inklusivitas bagi penyandang disabilitas.

Melalui metode Practice as Research (PaR), tim ini menggelar lokakarya seni partisipatif yang mengubah konsep abstrak seperti Anicca (ketidakkekalan) menjadi instalasi visual dan pertunjukan gerak.  Selain itu,  Rhaka juga memaparkan kenyataan pahit yang ditemukannya di lapangan. Banyak umat Buddha bisu tuli kesulitan memahami Dhamma karena minimnya kosakata bahasa isyarat untuk istilah-istilah Buddhis. Seni bisa menjadi jembatan, tapi tanpa aksesibilitas linguistik, kelompok tertentu tetap terpinggirkan. Temuan ini memicu diskusi tentang perlunya pengembangan bahasa isyarat religius di Indonesia—sebuah langkah penting menuju inklusivitas nyata.

Belajar Toleransi dari Pengalaman Langsung

Latifah (STAB Kertarajasa) meneliti dampak kunjungan mahasiswa Buddhis ke Galeri Santa Ursula Malang. Hasilnya menunjukkan, 85% mahasiswa merasa interaksi langsung dengan simbol-simbol Katolik dan sejarah perjalanan keagamaan ini secara lokal meningkatkan empati  peserta didik terhadap keyakinan lain.

Yang menarik, mahasiswa menemukan titik temu praktik spiritual antara Buddha dan Katolik—khususnya dalam disiplin meditasi dan kontemplasi sebagai fondasi pengembangan moralitas. Nilai-nilai seperti kebijaksanaan (panna/prudentia) dan welas asih (metta/caritas) ternyata tak hanya bersifat teoretis, tetapi dikembangkan melalui latihan rohani yang strukturnya mirip, seperti meditasi vipassana dalam tradisi Buddha dan examen conscientiae dalam spiritualitas Ursulin. Sebanyak 93% peserta menyatakan bahwa dialog dengan biarawati tentang praktik-praktik ini—sambil menyelusuri arsip sejarah Ordo Santa Ursula di Malang—memberikan pemahaman holistik tentang bagaimana latihan spiritual membentuk karakter dan pelayanan pendidikan.

Latifah menekankan bahwa pendekatan experiential learning ini mengungkap suatu paradoks, justru melalui kedalaman praktik masing-masing tradisilah kesamaan nilai dapat dihayati. Namun, Latifah mengingatkan bahwa kunjungan studi lintas-iman harus dirancang secara sistematis agar tidak sekadar menjadi tur wisata religious.

Baca juga: Research Center yang Getol Menggugat Papua (3)

KONFAS 2025: Kampus sebagai Laboratorium Moderasi Beragama

Ketiga penelitian di KONFAS 2025 ini bagai tiga sisi mata uang yang sama: moderasi beragama membutuhkan pendekatan multidisiplin yang holistik. Mulai dari pengakuan terhadap keragaman bahasa sebagai fondasi dialog, inovasi medium penyampaian ajaran untuk menjangkau kelompok marginal, hingga penciptaan ruang interaksi langsung antarumat beragama—semuanya menunjukkan praktik konkret moderasi beragama berbasis akademik.

Tantangan ke depan masih besar, tetapi KONFAS 2025 telah memberi peta jalan. Pengembangan kamus bahasa isyarat untuk istilah religius, misalnya, bukan sekadar upaya inklusivitas, tetapi juga bentuk moderasi beragama yang memastikan tidak ada kelompok yang tertinggal. Demikian pula dengan model experiential learning melalui kunjungan antartempat ibadah, yang terbukti efektif menanamkan sikap moderat dengan menggeser teori menjadi pengalaman empatik.

Sebagai konferensi perdana STABN Sriwijaya, KONFAS 2025 memperlihatkan komitmen nyata kampus sebagai laboratorium moderasi beragama. Di sini, akademisi tidak hanya menghasilkan wacana, tetapi juga solusi praktis—seperti rekomendasi kurikulum berbasis seni ko-kreatif dan desain kunjungan antariman yang terstruktur. Ini adalah bukti bahwa moderasi beragama harus dimulai dari paradigma pendidikan yang mengedepankan pertemuan nyata, bukan sekadar toleransi pasif.

Latifah/Melipirnews
Latest
First

Komentar

Popular News

Ayam Lodho Trenggalek: Dari Ritual Sakral hingga Kuliner Legendaris

Penjaja Soto Dikriminalisasi dan Sekaligus Dirindukan Kolonial

Menelusuri Jejak Sejarah Kota Malang Lewat Tur Jelajah Klodjian

Kembalinya Roxette Ke Pentas Musik Dunia

Pulau Terluar yang Dieksplorasi Anak Ekonomi

Kehidupan di Wilayah Perbatasan Tak Seindah Pos Perbatasan

Semarak Peringatan Hari Lansia Nasional 2025 di Hutan Malabar

Inovasi Museum yang Mengubah Cara Kita Belajar

Haji dalam Sastra Indonesia: Kisah Transformasi Jiwa dan Masyarakat

ARTIKEL FAVORIT PEMBACA

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

H.A. Mudzakir, Santri dan Seniman Langka yang Pernah Dimiliki Jepara

Rudy Chen Kenalkan Kemakmuran Muslim Shadian di Tiongkok

Melipir Mewarnai Gerabah di Museum Benteng Vredeburg

Judi Online Berlari Liar di Antara Pekerja Informal Hingga Anggota Dewan

Timun atau Melon Suri yang Selalu Beredar di Jabodetabek di Bulan Suci?

Menyusuri 125 Tahun Dedikasi Ursulin dalam Pendidikan di Malang

Musik Gambus "Milik" Betawi Berunsur Kebudayaan Nusantara

Antara Pariwisata dan Pelestarian: Dilema Borobudur dalam Perpres 101 Tahun 2024

Dimulainya Musim Haji 2025 dan Heroiknya Perjuangan Berhaji

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.