"Tahu tidak? Desain angkring soto Jawa Timur yang melengkung ternyata trik lihai hindari pajak kolonial! Sejarah kuliner = sejarah perlawanan"
![]() |
Dok. Istimewa |
Dalam presentasinya di Amsterdam Symposium on the History of Food (5-6 Juni 2025), Ary Budiyanto, antropolog dari Universitas Brawijaya, mengajak audiens menyusuri lorong waktu untuk menelusuri kisah tersembunyi di balik semangkuk soto. Judul presentasinya, "The Saoto Peddler in the Colonial Cityscape", bukan sekadar bercerita tentang kuliner, tetapi tentang bagaimana dari kisah penjual soto dan makanan jalanan umumnya ini menjadi cermin realitas sosial, politik higienitas, dan kehidupan urban Jawa di era kolonial.
Baca juga: Gorengan Khas Jepang dan Impor Minyak Sawit dari Indonesia
Penjaja Kaki lima dan Kriminalisasi Kolonial
Pedagang kaki lima, dalam hal ini terwakili oleh para penjual soto,dalam perjalanan sejarahnya sering kali dianggap sebagai biang kerok kekacauan urban. Pemerintah kolonial Belanda menggambarkan mereka sebagai ancaman bagi kesehatan publik, sumber penyakit, dan simbol ketidakberaturan kota. Namun para penjaja jalanan ini juga menjadi tulang punggung ketahanan pangan bagi masyarakat miskin urban di Batavia, Semarang, dan Surabaya.
Ary Budiyanto mengungkapkan, bahkan Tillema sang propagandis higienitas kota Kolonial masa itu dengan keras mengatakan, "bahwa akar masalah seperti akses air bersih dan sanitasi yang buruk diabaikan oleh kota." Namun demikian di sana-sini dalam bukunya Kromoblanda Tillema juga menyoroti moral pribumi yang musti diedukasi agar bisa lebih modern khususnya ikut sadar menata kampung dan sumber agar lebih bersih dan sehat dengan bahasa yang satir, sarkas, dan bahkan terasa rasis.
Dalam bukunya, Tillema (1916) menyitir moral pribumi, "Orang Jawa tak akan memilih air bersih jika air kotor tersedia,” menjadi contoh bagaimana masalah struktural—seperti ketiadaan infrastruktur air bersih—yang mustinya menjadi tanggung jawab kota seakan dialihkan menjadi kesalahan moral pribadi warganya. "Karya Tillema mencerminkan keyakinannya bahwa meningkatkan kesehatan pribumi adalah kunci untuk menjaga tatanan moral dan fisik koloni."
Adaptasi Kreatif di Tengah Tekanan
Namun, di balik tekanan stigmatisasi atas kesehatan, keindahan, dan ketertiban kota, kehadiran mereka dibutuhkan pajaknya. Para pedagang soto, khususnya, menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Salah satu contoh menarik adalah evolusi desain angkring pikulan yang digunakan para pedagang di Jawa Timur.
"Bentuk angkring yang melengkung ke atas bukan hanya untuk memudahkan navigasi di gang sempit," jelas Ary Budiyanto.
"Ini juga strategi cerdas untuk menghindari perhitungan pajak yang didasarkan pada luas area berjualan," sambungnya.
Dengan memendekkan jarak antara keranjang dan melengkungkannya ke atas, para pedagang berhasil mengurangi beban pajak sekaligus mempertahankan efisiensi kerja.
Inovasi seperti ini, menurut Budiyanto, adalah bukti nyata bagaimana masyarakat marjinal menemukan cara untuk bertahan di tengah sistem yang tidak adil.
Soto: Dari Stigma hingga Nostalgia
Ironisnya, meski dijual oleh pedagang yang distigma, soto justru digemari oleh berbagai kalangan—termasuk elite Eropa, masyarakat Tionghoa, dan Indo-Eropa. Bahkan, hidangan ini kemudian masuk dalam ransum militer kolonial.
Yang lebih menarik, soto kemudian menjadi objek nostalgia bagi masyarakat Indo-Eropa. Dalam memoar-memoar mereka, soto kerap disebut sebagai "rasa rumah" yang dirindukan. Sebuah kutipan dari memori masa kecil W. Halkema yang bergumam kesal pada ibunya menyatakan, "Kalau soto yang dibuat dari ayam yang tenggelam di sungai rasanya seenak ini, maka mulai sekarang mari kita tenggelamkan ayam juga untuk soto buatan rumah kita..."
"Ini menunjukkan ambivalensi kolonial," kata Budiyanto. "Di satu sisi, pedagang soto dianggap kotor dan terpinggirkan, tetapi di sisi lain, hidangan mereka sangat dinanti, dinikmati dan dikenang dengan rindu."
Mengapa Kisah Ini Masih Relevan Hari Ini?
Presentasi Ary Budiyanto bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga cermin bagi masalah kontemporer. Stigma terhadap pedagang kaki lima—sebagai "tidak higienis" atau "mengganggu ketertiban kota"—ternyata berakar dari narasi kolonial yang sudah berusia lebih dari seabad.
Baca juga: Sate-Sate Pengharum Nama Daerah
"Masih banyak kebijakan modern yang mengulang pola pikir kolonial dalam melihat pedagang kecil," ujar Ary Budiyanto. "Padahal, seperti yang ditunjukkan sejarah, mereka adalah bagian vital dari identitas dan ketahanan kota."
Di akhir presentasi, Ary Budiyanto menegaskan bahwa soto lebih dari sekadar makanan: ia adalah simbol perlawanan ‘kecil’, adaptasi, dan kemanusiaan. "Soto adalah tentang orang-orang yang bertahan di tepi jalan, di tengah stigma, dan tetap memberi kehangatan bagi siapa saja yang mau berbagi semangkuk," katanya. "Dan itulah yang membuatnya abadi."
Refleksi untuk Masa Depan
Kisah soto kolonial memberikan penegasan bahwa warisan kuliner tidak pernah netral—ia selalu terkait dengan politik, kekuasaan, dan identitas. Dengan memahami sejarah ini, generasi sekarang diajak untuk lebih kritis dalam melihat kebijakan kota, termasuk bagaimana memperlakukan pedagang kaki lima hari ini. "Makanan jalanan adalah cermin peradaban. Jika kita ingin kota yang inklusif, mulailah dengan menghargai mereka yang menghidupkan jalanan,” ujar Ary Budiyanto menutup paparannya.
Latifah/melipirnews
Komentar
Posting Komentar