Arsip seni di Jawa Timur menyimpan riwayat yang jauh lebih hidup daripada yang selama ini dibayangkan.
Di balik catatan pameran dari tahun 1956 di Malang dan Surabaya, hingga ribuan kliping yang dikumpulkan oleh para peneliti, provinsi ini sebenarnya memiliki sejarah seni yang subur dan tersebar luas. Namun, jejak-jejak itu belum sepenuhnya dibaca, diteliti, atau ditulis secara serius—sebuah persoalan yang mengemuka dalam kuliah publik bertajuk “Arsip Seni Jawa Timur: Keberadaan dan Problemnya” yang menghadirkan Prof. Dr. Djuli Djatiprambudi, profesor Ilmu Seni dari UNESA dan peneliti yang telah lebih dari tiga dekade bergelut dengan dokumentasi seni. Acara ini berlangsung secara daring pada 28 November 2025.
Dalam paparannya, Prof. Djuli langsung membantah stigma lama yang menyebut Jawa Timur sebagai wilayah yang minim aktivitas seni. Menurutnya, anggapan tersebut tidak berdasar karena perkembangan seni di Jawa Timur justru tersebar dari Banyuwangi hingga Magetan, bukan terpusat di satu kota saja. Pameran dan komunitas seni muncul dari berbagai daerah, menunjukkan dinamika yang kaya. Ironisnya, sejarah seni nasional selama puluhan tahun lebih banyak berpihak pada kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali, sehingga jejak perupa dan peristiwa seni dari Jawa Timur sering terlewatkan dalam berbagai buku sejarah seni besar.
Masalah utama terletak pada minimnya dokumentasi. Prof. Djuli mengungkapkan bahwa Jawa Timur sebenarnya memiliki banyak peristiwa seni setiap tahun, tetapi hanya sedikit yang ditulis atau dipublikasikan secara memadai. Akibatnya, Jawa Timur kerap tampak “sepi” padahal kenyataannya “ramai”. Publikasi media online pun tidak selalu membantu; banyak liputan dibuat dengan tergesa-gesa, menuliskan nama tokoh secara keliru, atau hanya memberi gambaran yang dangkal. Kondisi ini menambah panjang daftar tantangan pengarsipan seni di Jawa Timur.
Dalam sesi tanya jawab, muncul perbincangan mengenai relevansi arsip lama, misalnya yang tersimpan di Perpustakaan Padepokan Sastra Tan Tular Malang. Prof. Djuli menegaskan bahwa arsip dari era 80–90-an justru sangat berharga jika dibaca dengan perspektif analitis yang tepat. Ia mencontohkan bagaimana lakon ludruk dapat mengungkap strategi perlawanan kultural melalui pendekatan postkolonial, membuktikan bahwa arsip lama bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi sumber pengetahuan yang masih dapat diolah untuk membaca fenomena budaya kontemporer.
Prof. Djuli juga menyinggung tantangan generasi saat ini yang tumbuh di tengah budaya serba instan. Mahasiswa kini lebih sering mengandalkan informasi visual dari YouTube atau media sosial, yang sebenarnya sudah terbingkai oleh sudut pandang pembuatnya. Ia membandingkannya dengan generasi sebelumnya yang terbiasa membaca buku tebal dan berdiskusi intens di perpustakaan. Menurutnya, berlimpahnya informasi tidak selalu membuat masyarakat lebih bijak; justru dapat membuat bingung ketika tidak dibarengi kemampuan membaca sumber yang kredibel.
Prof. Djuli menekankan pentingnya kehadiran lebih banyak peneliti, penulis, dan pengarsip seni di Jawa Timur. Tanpa komitmen untuk menulis, peristiwa seni hanya akan menjadi jejak yang menghilang. Ia mengingatkan bahwa dokumentasi tertulis tidak hanya menjadi bukti keberadaan, tetapi juga dasar bagi tumbuhnya ilmu pengetahuan. Ketika suatu peristiwa tidak ditulis, sejarah kehilangan kepingan pentingnya, generasi mendatang kehilangan akses pengetahuan, dan nilai ekstrinsik seni tidak dapat terbentuk. “Seolah-olah sepi, padahal sebenarnya sangat hidup. Hanya belum ditulis,” ujarnya.
Latifah/Melipirnews

Komentar
Posting Komentar