Disinformasi Iklim Menggerus Hak Masyarakat Adat: Laporan dari India Ini Jadi Alarm Serius bagi Indonesia

Disinformasi iklim tidak lagi sekadar persoalan hoaks di media sosial. Ia telah berkembang menjadi instrumen politik dan ekonomi yang berdampak nyata pada kehidupan masyarakat adat

Hal ini terungkap jelas dalam laporan Climate Disinformation in India: Subverting Indigenous Peoples’ Rights (2025), yang menunjukkan bagaimana narasi palsu dan menyesatkan tentang perubahan iklim digunakan untuk melemahkan perlindungan hukum, membenarkan proyek ekstraktif, dan menggusur masyarakat adat dari tanah leluhur mereka.

Gambar tangkapan layar

Di India, masyarakat adat—yang mencapai 8,6 persen populasi atau sekitar 104 juta jiwa—menjadi kelompok paling rentan terhadap dampak disinformasi iklim. Mereka hidup di wilayah hutan dan kawasan ekologis penting, tetapi justru sering diposisikan sebagai “penghambat pembangunan” atau bahkan “perambah hutan”. Melalui media arus utama, media sosial, dan komunikasi kebijakan, narasi pembangunan hijau dibangun tanpa melibatkan suara mereka.

Pola Disinformasi yang Terstruktur

Laporan tersebut mengidentifikasi empat pola utama disinformasi iklim. Pertama, penyajian data lingkungan yang sepihak, ketika pemerintah dan media hanya menonjolkan capaian statistik hijau tanpa membuka fakta kerusakan ekologis dan dampak sosial di lapangan. Kedua, promosi solusi iklim palsu, seperti proyek aforestasi dan skema karbon yang diklaim ramah lingkungan tetapi justru merusak ekosistem dan menghilangkan akses masyarakat adat terhadap hutan.

Baca juga: SLO Jadi Alternatif Pengganti CSR

Ketiga, pengalihan tanggung jawab krisis lingkungan semata-mata pada perubahan iklim global, sehingga kegagalan tata kelola, eksploitasi sumber daya, dan proyek bermasalah luput dari kritik. Keempat, penyangkalan terselubung terhadap perubahan iklim, termasuk penghapusan data korban bencana dan delegitimasi sains iklim.

Disinformasi ini berdampak langsung pada pelemahan hukum seperti Forest Rights Act (FRA), kriminalisasi masyarakat adat, penggusuran paksa, serta represi terhadap pembela lingkungan. Hak atas Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sering diabaikan, sementara proyek pembangunan tetap berjalan atas nama kepentingan nasional.

Masyarakat Adat sebagai Kunci Solusi

Laporan Climate Disinformation in India menegaskan bahwa masyarakat adat bukan penghambat, melainkan aktor kunci dalam ketahanan iklim. Pengetahuan lokal, praktik pengelolaan hutan berbasis adat, serta relasi spiritual dengan alam terbukti menjaga ekosistem dalam jangka panjang. Pesan ini sangat relevan bagi Indonesia, yang selama ini diakui memiliki keanekaragaman hayati tinggi justru karena wilayah adat yang masih terjaga.

Namun, tanpa informasi yang jujur dan kebijakan yang berpihak, peran strategis ini terancam hilang. Disinformasi iklim membuat solusi yang seharusnya adil berubah menjadi alat baru perampasan ruang hidup.

Apa yang terjadi di India memiliki kemiripan kuat dengan situasi Indonesia. Dengan ratusan komunitas masyarakat adat yang hidup di kawasan hutan, pesisir, dan pulau-pulau kecil, Indonesia menghadapi tantangan serupa dalam pengelolaan krisis iklim. Narasi seperti “pembangunan strategis nasional”, “hilirisasi”, “energi hijau”, dan “transisi rendah karbon” kerap dikedepankan tanpa penjelasan kritis tentang dampaknya terhadap wilayah adat.

Dalam praktiknya, masyarakat adat di Indonesia juga sering distigma sebagai penghambat investasi atau pembangunan. Konflik agraria, pembukaan hutan untuk tambang dan perkebunan, serta proyek infrastruktur besar menunjukkan bahwa narasi pembangunan ramah lingkungan kerap tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Seperti di India, disinformasi iklim di Indonesia tidak selalu hadir sebagai penyangkalan terang-terangan, melainkan melalui klaim sepihak keberhasilan kebijakan hijau.

Media dan media sosial turut berperan. Statistik tentang penurunan emisi atau rehabilitasi hutan sering dikutip tanpa konteks, sementara suara masyarakat adat jarang mendapat ruang. Akibatnya, publik tidak memperoleh gambaran utuh tentang krisis lingkungan yang juga merupakan krisis keadilan sosial.

Baca juga: Semarak Peringatan Hari Lansia Nasional 2025 di Hutan Malabar

Laporan ini merekomendasikan agar pemerintah, media, dan perusahaan teknologi memperkuat pemantauan disinformasi iklim, menegakkan perlindungan hukum yang sudah ada, serta secara legal menempatkan pengetahuan masyarakat adat dalam kebijakan iklim. Bagi Indonesia, ini berarti memastikan pengakuan wilayah adat, penerapan FPIC, dan peliputan media yang lebih kritis serta berimbang.

Di tengah krisis iklim yang semakin nyata, pelajaran dari India menjadi peringatan penting: tanpa melawan disinformasi, kebijakan iklim berisiko memperdalam ketidakadilan. Perlindungan lingkungan tidak bisa dipisahkan dari perlindungan hak masyarakat adat—baik di India maupun di Indonesia.

Latifah/Melipirnews.com

Related Posts

Komentar

Populer Sepekan

Pemuda dan Warga Buddhis Blitar Tanam Pohon Untuk Jaga Sumber Air

Anne Scheiber: "Saat Gaji Naik Tipis, Ketahanan Finansial Jadi Kunci"

Anak Muda Qufu Bangga Kotanya Menyimpan Jejak Konfusius

Rudy Chen Kenalkan Kemakmuran Muslim Shadian di Tiongkok

Kisah Sukses Woko Channel di Mata Emak Kedai Kopi Pinggir Jalan Manyaran

Setelah Setengah Abad Menghilang, Wayang Topeng Menak Malangan Bangkit Kembali

Semarak Peringatan Hari Lansia Nasional 2025 di Hutan Malabar

Konferensi di Unibraw: Fenomena Peningkatan Peran Perempuan dan Bapak Rumah Tangga

ARTIKEL FAVORIT PEMBACA

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

Rudy Chen Kenalkan Kemakmuran Muslim Shadian di Tiongkok

Timun atau Melon Suri yang Selalu Beredar di Jabodetabek di Bulan Suci?

Judi Online Berlari Liar di Antara Pekerja Informal Hingga Anggota Dewan

Musik Gambus "Milik" Betawi Berunsur Kebudayaan Nusantara

Perpaduan Budaya Penambah Eksotis Masjid Ridho Ilahi, Wilangan, Nganjuk

H.A. Mudzakir, Santri dan Seniman Langka yang Pernah Dimiliki Jepara

Antara Pariwisata dan Pelestarian: Dilema Borobudur dalam Perpres 101 Tahun 2024

Melipir Mewarnai Gerabah di Museum Benteng Vredeburg

Kawasan Menteng Bergaya Eropa Jejak Peninggalan Kebijakan Daendals

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.