"CSR tidak cukup, karena selesai di dana CSR. Malah jadi sarang korupsi"
Ruang Juwono Sudarsono, FISIP UI Depok mendadak hening pagi itu, Jumat 3 Oktober 2025. Semua karena ungkapan para pembicara yang mengorek buruknya perlakukan perusahaan ekstraktif, yaitu perusahaan yang bergerak di usaha tambang dan kehutanan, terhadap masyarakat sekitarnya. Lokasi perusahaan pertambangan atau kehutanan boleh jadi tertata rapi dan megah, namun masyarakat sekitarnya tinggal di kawasan kumuh. Jaringan infrastruktur pun kurang layak untuk bertetangga dengan perusahaan ekstraktif yang infrastrukturnya begitu maju dan canggih. Pernyataan menyedihkan ini terurai dalam acara peluncuran School of Social Sustainably and Innovation (SSSI), Universitas Indonesia Jumat pagi itu.
![]() |
Suasana peluncuran School of Social Sustainably and Innovation, FISIP UI, Jumat, 3 Oktober 2025 (Melipirnews) |
Baca juga: Langkah Kecil untuk Atasi Masalah Sampah Perkotaan yang Membesar
Noke Kiroyan mengisahkan perjumpaannya dengan dunia tambang. Tepatnya pada bulan September 1997 masuk Rio Tinto sebagai county head Indonesia. Lokasi tambang batu bara perusahaannya terletak di Kelian, Kutai Barat, Kalimantan Timur dan juga tambang emas di Grasberg, Mimika, Papua Tengah yang sebagian dikuasai Rio Tinto. Saat itu juga didapuk sebagai ketua dewan eksekutif yayasan Rio Tinto. Ia kala itu baru menginjakkan kaki di tambang dua pekan sebelum memulai pekerjaan di Rio Tinto. Sebelumnya sama sekali belum pernah mengenal dunia tambang.
Ia yang bukan berlatar belakang pertambangan kemudian diberitahu jawaban bos Rio Tinto, bahwa isu utama masa depan di tambang adalah isu sosial dan politik. Bukan lagi teknik. Walaupun belum pernah mengenal dunia tambang, namun ia punya sederet pengalaman menjadi eksekutif sebelumnya di Siemen dan Salim group. Ini alasan Rio Tinto memilih Noke Kiroyan.
Benar juga apa yang diprediksi para bosnya, Noke kemudian semasa aktif bertugas sering terlibat dalam upaya perusahaannya mendapatkan dukungan dari warga sekitar. Bahkan perusahaannya pernah dilaporkan ke Komnas HAM dan Nuke pun terjun langsung menyelesaikan permasalah tersebut, sebelum diproses oleh Komnas HAM.
Dalam paparannya, ia menilai legitimasi sosial dan membangun kepercayaan masyarakat lokal itu jauh lebih penting ketimbang hanya mengandalkan keberadaan corporate social responsibility (CSR).
"CSR tidak cukup, karena selesai di dana CSR. Malah jadi sarang korupsi. Di internasional tidak ada dana CSR, hanya di Indonesia saja. Seharusnya yang dibangun itu trust dan itu tidak bisa dibeli, tapi harus didapatkan (earned) dan perusahaan harus memperoleh dengan komunikasi yang baik," ujarnya.
Di situlah kemudian mengapa social license to operate (SLO) menjadi konsep yang perlu dilihat oleh perusahaan-perusahaan ekstraktif dewasa ini agar perusahaannya dapat berjalan secara berkelanjutan. Lanjut Kiroyan, kemampuan diplomasi para pimpinan perusahaan, yang artinya dapat berkomunikasi dengan komunitas masyarakat terbawah hingga lapisan tertinggi, sangat dibutuhkan di sini.
Kiroyan juga mengutip istilah lama yang cukup satire untuk memberikan kritik secara halus kepada perusahaan tambang, yakni apa yang dikenal dengan istilah rural development tourist dengan membawa kecanggihan teknologi masuk ke wilayah rural. Ujungnya masyarakat lokal tidak terpengaruh atas kehadiran teknologi canggih itu.
Baca juga: Tarif Tempat Relaksasi Pengobat Jiwa Naik Saat Liburan, Wajarkah?
Nadia Hadad, dari Yayasan Madani Berkelanjutan mengimbuhkan, legitimasi sosial menjadi syarat sebelum pendirian sebuah perusahaan ekstraktif. Jika ada penolakan, maka mau tidak mau proyek harus dihentikan. Ia juga menilai, CSR hanya memberikan barang yang belum tentu bisa bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya masyarakat pesisir Maluku diberi kulkas untuk menyimpan ikan, namun ternyata tidak ada listrik. "Jadinya kulkas dijadikan lemari baju," tukasnya.
Dodi Prayoga, dosen FISIP UI yang telah menerjuni isu lingkungan sejak 1994 memberikan pemahaman tentang Sustainably. Menurutnya, kehadiran yang satu harus mengganti dengan yang baru. "Kalau mencemari sungai, maka harus mengganti dengan air yang bersih. Itulah Sustainably," terangnya.
Pendirian lembaga kajian baru di lingkungan FISIP UI ini, menurut Dody, akan diarahkan pada aspek inovasinya. "Ujungnya mana produknya. Maka school ini akan mengarah pada jalan keluar. School ini mengarah pada produk yang dapat terpakai," terang Dody lebih lanjut.
Zaenal Eko/Melipirnews
Komentar
Posting Komentar