Salah satu sesi refleksi dalam rangkaian kegiatan ini mengajak peserta memandang alam sebagai “rumah bersama” bagi manusia dan seluruh makhluk hidup
Bencana banjir bandang di Pulau Sumatera yang menjangkau tiga provinsi yakni Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat akhir November 2025 lalu, mengguncang negeri karena disertai hanyutnya kayu-kayu gelondongan yang dibabat di daerah ketinggian hulu sungai yang dikitari hutan. Sejak lama isu deforestasi kawasan hutan ditabuh guna menjadi perhatian publik, namun industrialisasi kawasan hutan lebih menggiurkan. Kawasan hutan berubah menjadi kawasan industri berbahan kayu, kawasan tambang dan perkebunan tanaman sawit.
![]() |
| Dok. Patria Blitar |
Mengantispasi hal serupa tidak terjadi dan juga untuk menjaga keseimbangan alam, sekelompok warga dan pemuda Buddhis di Blitar, Jawa Timur melakukan aksi tanam pohon. Isu lingkungan hidup yang demikian nyata belakangan ini kembali mendapat perhatian mereka melalui kegiatan PATRIA Gathering yang diselenggarakan oleh Pemuda Theravada Indonesia (PATRIA). Kegiatan tersebut dilaksanakan di Desa Bumiayu, Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar, pada 27–28 Desember 2025. Kegiatan ini mempertemukan refleksi nilai keagamaan, kepedulian ekologis, dan aksi nyata pelestarian lingkungan melalui penanaman pohon di kawasan sumber air desa.
Di tengah berkurangnya sumber air yang dirasakan masyarakat setempat, degradasi lahan, dan dampak perubahan iklim yang semakin dirasakan warga, PATRIA Gathering mengedepankan pendekatan berbasis komunitas. Selain sesi diskusi dan refleksi, kegiatan ini diarahkan pada aksi langsung di lapangan sebagai bentuk kepedulian bersama terhadap keberlanjutan lingkungan hidup.
Aksi penanaman pohon dilaksanakan melalui gotong royong bertajuk Bumiayu Green Initiative pada Minggu, 28 Desember 2025, berlokasi di Sumber Air Kucur, Dusun Lungurtimo, Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar. Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya bersama menjaga sumber air yang selama ini menopang kehidupan warga desa.
Dalam tahap persiapan, Narendra Jaga Bumi berperan aktif sebagai pengelola kawasan sumber air sekaligus koordinator teknis penanaman. Komunitas ini menyiapkan bibit, menentukan lokasi tanam, serta memastikan jenis tanaman yang dipilih sesuai dengan fungsi ekologis kawasan sumber air.
Jenis pohon yang ditanam meliputi pule, trembesi, beringin, sukun, matoa, tabebuya, cendana, dan duwet. Pemilihan tanaman tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan pohon dalam menjaga resapan air, memperkuat struktur tanah, serta memberikan manfaat ekologis jangka panjang bagi lingkungan sekitar.
Merefleksikan Alam Sebagai Rumah Bersama
Salah satu sesi refleksi dalam rangkaian kegiatan ini mengajak peserta memandang alam sebagai “rumah bersama” bagi manusia dan seluruh makhluk hidup. Perspektif ini menempatkan ekologi sebagai relasi kehidupan yang saling terhubung, sehingga manusia dipahami sebagai bagian dari jejaring alam dengan tanggung jawab untuk merawat dan menjaga keseimbangannya. Kesadaran akan hukum sebab-akibat dalam relasi manusia dan alam menjadi dasar pemahaman bahwa setiap tindakan terhadap lingkungan akan membawa dampak kembali bagi kehidupan manusia.
Pembimbing Masyarakat Buddha Provinsi Jawa Timur, Ketut Panji Budiawan, mengapresiasi keterlibatan aktif generasi muda dan komunitas dalam kegiatan ini. Ia menekankan bahwa penanaman pohon perlu dipahami sebagai proses berkelanjutan.
“Kami berharap penanaman pohon ini tidak berhenti pada simbolisme semata. Yang jauh lebih penting adalah keberlanjutannya, bagaimana pohon-pohon yang ditanam benar-benar dirawat agar memberi manfaat bagi lingkungan dan masyarakat,” ujarnya.
Ketut juga menilai pelibatan generasi muda dalam kegiatan semacam ini sangat strategis, mengingat mereka akan menjadi penjaga keberlanjutan lingkungan di masa depan. Ia menyoroti kondisi kawasan Bumiayu yang sebelumnya cukup lama mengalami kekeringan dan kegundulan lahan, sehingga penanaman pohon perlu dilakukan secara selektif dengan jenis tanaman yang tepat untuk menjaga resapan air.
Konteks lapangan disampaikan oleh Ketua BPD Desa Bumiayu, Jarwoko, yang menjelaskan bahwa sumber air di kawasan tersebut menghidupi sekitar 200 kepala keluarga. Sekitar dua tahun lalu, desa sempat mengalami kekeringan cukup serius, sehingga pemerintah desa mengambil inisiatif membangun ketahanan iklim dengan membentuk Komunitas Narendra Jaga Bumi sebagai pengelola kawasan sumber air Pucung.
Baca juga: SLO Jadi Alternatif Pengganti CSR
Upaya penghijauan dilakukan secara terencana di area seluas sekitar 6,2 hektare dengan kapasitas 8.000 bibit pohon. Hingga kini, sekitar 4.000 bibit telah berhasil ditanam melalui kerja sama lintas komunitas. Selain PATRIA dan Narendra Jaga Bumi, kegiatan ini melibatkan Pembimas Buddha Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Desa Bumiayu, pengurus dan anggota PATRIA Blitar, Ketua Umum HIKMAHBUDHI, umat Buddha dari Vihara Bodhi Amatta dan Vihara Bumi Loka, masyarakat Desa Bumiayu, Karang Taruna, komunitas Masyarakat Peduli Hutan Blitar, STAB Kertarajasa, serta para relawan.
Bagi masyarakat Desa Bumiayu, kegiatan ini bersifat strategis karena berkaitan langsung dengan keberlangsungan sumber air desa. Sementara itu, bagi generasi muda, kegiatan ini menjadi ruang pembelajaran bahwa kepedulian terhadap lingkungan dapat dimulai dari langkah sederhana yang dilakukan secara kolektif dan konsisten.
Secara lebih luas, kegiatan ini mencerminkan praktik ekoteologis yang menempatkan kepedulian terhadap alam sebagai bagian dari tanggung jawab manusia dalam relasinya dengan kehidupan. Nilai-nilai tersebut diterjemahkan melalui tindakan konkret seperti menjaga sumber air, menanam dan merawat pohon, serta membangun komitmen kolektif untuk keberlanjutan lingkungan. Dari Bumiayu, gerakan ini menegaskan bahwa satu bibit yang ditanam hari ini adalah upaya menjaga kehidupan bagi generasi mendatang.
Latifah/Melipirnews.com

Komentar
Posting Komentar