Kedua negara itu dihuni oleh masyarakat Buddhis dengan komposisi yang sama-sama besar, yakni lebih dari 90 persen. Thailand 93 persen, Kamboja 95 persen.
Konflik dua negara bertetangga, yakni antara Thailand dan Kamboja yang kembali memanas hari-hari ini, menyisakan keheranan. Khususnya bagi pengamat Asia Tenggara. Lebih khusus lagi pengamat masyarakat dan budaya menyangkut kedua negara tersebut.
Terbesar dan terberat yang terus mengganggu hubungan kedua negara itu adalah keberadaan Candi Preah Vihear dan komplek di sekitarnya. Keberadaan candi ini di daerah perbatasan, arah tenggara Thailand. Persengketaan kepemilikan candi ini sebenarnya sudah sejak era kolonial.
Sengketa ini berakar pada sejarah pemetaan perbatasan di era kolonial dan telah menyebabkan ketegangan politik yang panjang dan bentrokan bersenjata yang mematikan, dengan pertempuran signifikan terjadi baru-baru ini pada tahun 2025.
Pangkal masalah bermula dari perjanjian penetapan batas antara pihak kolonial Prancis dan Kerajaan Siam pada awal abad ke-20. Pada peta yang muncul tahun 1907 yang dibuat Prancis, candi tersebut berada di sisi perbatasan yang masuk dalam wilayah Kamboja. Thailand kemudian menggugat peta ini, dengan alasan bahwa perbatasan harusnya mengikuti garis batas daerah aliran sungai alami, yang akan menempatkan area candi berada di wilayah Thailand. Kamboja tidak menerima. Persengketaan terus berlanjut hingga diajukan Kamboja kepada mahkamah internasional (International Court of Justice).
Putusan Mahkamah Internasional pada tahun 1962 menyatakan bahwa candi itu menjadi milik Kamboja. Thailand secara resmi menerima putusan mengenai kepemilikan candi ini, akan tetapi mempertahankan klaimnya atas area seluas 4,6 kilometer persegi di sekitar candi.
UNESCO pun juga menambah panas situasi. Pencantuman UNESCO atas candi ini sebagai situs warisan dunia di tahun 2008 menambah ketegangan. Protes keras muncul dari pihak Thailand yang membawa konfrontasi militer.
Perang di Media Sosial
Persaingan tentang siapa yang paling asli di antara kedua pihak juga meruncing di media sosial. Pemantik utamanya jelas ketegangan perbatasan dan perselisihan historis. Warga kedua negara terlibat dalam debat daring yang sengit. Mereka saling mendukung narasi pemerintah mereka masing-masing, dan menggunakan platform seperti TikTok dan Facebook. Perdebatan itu lebih banyak menyebarkan pandangan nasionalistik, terutama mengenai wilayah seperti candi Preah Vihear, yang jelas-jelas menciptakan medan pertempuran digital di samping konflik fisik.
![]() |
| Candi Preah Vihear (Freepik.com) |
Data berbicara. Kedua negara itu dihuni oleh masyarakat Buddhis dengan komposisi yang sama-sama besar, yakni lebih dari 90 persen. Thailand 93 persen, Kamboja 95 persen. Bukan hanya kesamaan agama dan komposisinya, melainkan juga sama-sama aliran atau mazhabnya; keduanya sama-sama bermazhab Theravada.
Keduanya juga memiliki bhikkhu raja (sangharaja) yang diangkat oleh kerajaan dan memberikan dukungan kepada kerajaan. Bhikkhu raja juga memimpin padepokan vihara (monastery) dan komunitas bhikkhu secara nasional. Dalam istilah Kamboja, sosok ini disebut dengan Samdech Preah Sangharaja, sementara dalam istilah Thailand disebut Somdet Phra Sangkharat. Mirip, bukan?!
Seni pertarungan (martial art) di atas ring juga sama. Hanya beda nama saja dan justru ini yang tidak kurang memanas rivalitasnya. Di Thailand disebut Muay Thai, sedangkan di Kamboja disebut Kun Khmer atau Pradal Serey. Walaupun sama, namun Muay Thai sudah terlanjur mengglobal terlebih dahulu.
Seni pertarungan (martial art) di atas ring juga sama. Hanya beda nama saja dan justru ini yang tidak kurang memanas rivalitasnya. Di Thailand disebut Muay Thai, sedangkan di Kamboja disebut Kun Khmer atau Pradal Serey. Walaupun sama, namun Muay Thai sudah terlanjur mengglobal terlebih dahulu.
Persaingan siapa yang lebih asli seni pertarungan secara tradisi ini memicu pertikaian di antara kedua negera. Puncaknya pada saat Thailand memboikot SEA Games tahun 2023 di saat dilaksanakan di Kamboja. Tuan rumah mempertandingkan Kun Khmer yang tidak lain adalah Muay Thai, namun tidak menggunakan istilah Muay Thai melainkan Kun Khmer. Induk organisasi Muay Thai internasional pun juga tidak dilibatkan. Kamboja berdalih, Kun Khmer lebih dulu muncul ketimbang Muay Thai.
Terbesar dan terberat yang terus mengganggu hubungan kedua negara itu adalah keberadaan Candi Preah Vihear dan komplek di sekitarnya. Keberadaan candi ini di daerah perbatasan, arah tenggara Thailand. Persengketaan kepemilikan candi ini sebenarnya sudah sejak era kolonial.
Sengketa ini berakar pada sejarah pemetaan perbatasan di era kolonial dan telah menyebabkan ketegangan politik yang panjang dan bentrokan bersenjata yang mematikan, dengan pertempuran signifikan terjadi baru-baru ini pada tahun 2025.
Pangkal masalah bermula dari perjanjian penetapan batas antara pihak kolonial Prancis dan Kerajaan Siam pada awal abad ke-20. Pada peta yang muncul tahun 1907 yang dibuat Prancis, candi tersebut berada di sisi perbatasan yang masuk dalam wilayah Kamboja. Thailand kemudian menggugat peta ini, dengan alasan bahwa perbatasan harusnya mengikuti garis batas daerah aliran sungai alami, yang akan menempatkan area candi berada di wilayah Thailand. Kamboja tidak menerima. Persengketaan terus berlanjut hingga diajukan Kamboja kepada mahkamah internasional (International Court of Justice).
Putusan Mahkamah Internasional pada tahun 1962 menyatakan bahwa candi itu menjadi milik Kamboja. Thailand secara resmi menerima putusan mengenai kepemilikan candi ini, akan tetapi mempertahankan klaimnya atas area seluas 4,6 kilometer persegi di sekitar candi.
UNESCO pun juga menambah panas situasi. Pencantuman UNESCO atas candi ini sebagai situs warisan dunia di tahun 2008 menambah ketegangan. Protes keras muncul dari pihak Thailand yang membawa konfrontasi militer.
Perang di Media Sosial
Persaingan tentang siapa yang paling asli di antara kedua pihak juga meruncing di media sosial. Pemantik utamanya jelas ketegangan perbatasan dan perselisihan historis. Warga kedua negara terlibat dalam debat daring yang sengit. Mereka saling mendukung narasi pemerintah mereka masing-masing, dan menggunakan platform seperti TikTok dan Facebook. Perdebatan itu lebih banyak menyebarkan pandangan nasionalistik, terutama mengenai wilayah seperti candi Preah Vihear, yang jelas-jelas menciptakan medan pertempuran digital di samping konflik fisik.
Membingungkannya, persaingan ini meluas ke para influencer dan kelompok patriotik, memperkuat jejak digital konflik dan memengaruhi opini publik di kedua negara. Akan tetapi, di balik pertempuran di medai sosial ini, dan hal ini sudah jamak di dunia media sosial, tuduhan keuntungan yang diperoleh para influencer dan opinion leader pun tidak bisa dikesampingkan.
Zaenal Eko/Melipirnews

Komentar
Posting Komentar