Saat Bencana Kian Sering Terjadi, Kemenag Dorong Ekoteologi sebagai Jawaban Etis Merawat Bumi

Banjir bandang, longsor, kekeringan, hingga cuaca ekstrem kian sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Bencana yang berulang ini menegaskan satu hal: krisis lingkungan telah memasuki fase yang mengkhawatirkan dan menuntut respons yang lebih dari sekadar penanganan darurat. Di tengah situasi tersebut, Kementerian Agama Republik Indonesia menilai bahwa solusi teknis perlu disertai pendekatan etis dan moral yang menyentuh cara pandang manusia terhadap alam.

Sesi foto bersama acara Pelatihan Ekoteologi oleh Pusat Pengembangan Kompetensi SDM Pendidikan dan Keagamaan (Pusbangkom SDM PK) Kementerian Agama, 1–5 Desember 2025 (Latifah/Melipirnews.com)

Komitmen itu tercermin dalam penyelenggaraan Pelatihan Ekoteologi oleh Pusat Pengembangan Kompetensi SDM Pendidikan dan Keagamaan (Pusbangkom SDM PK) Kementerian Agama, yang digelar pada 1–5 Desember 2025 di Ciputat. Pelatihan ini dirancang untuk memperkuat peran aparatur negara dan lembaga keagamaan dalam merespons krisis ekologis yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.

Pelatihan dibuka dengan doa lintas enam agama, sebuah simbol bahwa krisis lingkungan bukan persoalan satu kelompok atau keyakinan tertentu. Pemutaran dokumenter tentang kondisi lingkungan dan pembacaan sajak-sajak alam menjadi pengingat bahwa kerusakan alam telah meninggalkan jejak nyata, mulai dari hilangnya sumber air bersih hingga meningkatnya risiko bencana di kawasan padat penduduk.

Dalam beberapa tahun terakhir, isu lingkungan semakin sering muncul dalam pemberitaan nasional. Data bencana yang terus meningkat menunjukkan bahwa degradasi lingkungan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas manusia. Oleh karena itu, Kementerian Agama memandang agama sebagai sumber nilai yang mampu menumbuhkan kesadaran, mengendalikan eksploitasi berlebihan, dan mendorong tanggung jawab kolektif terhadap bumi.

Secara substansi, pelatihan ekoteologi membahas keterkaitan ajaran agama dengan keberlanjutan lingkungan. Peserta diajak memahami tantangan krisis iklim global, keadilan ekologis, serta peran manusia sebagai pengelola alam. Materi pelatihan tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga mendorong refleksi kritis dan perubahan sikap dalam kehidupan sehari-hari.

Pendekatan praktik menjadi salah satu daya tarik pelatihan ini. Peserta mempelajari pengalaman perhutanan sosial dan peran masyarakat adat dalam menjaga ekosistem. Praktik-praktik tersebut menunjukkan bahwa pelestarian lingkungan dapat berjalan seiring dengan kesejahteraan masyarakat, asalkan dikelola secara adil dan berkelanjutan.

Tingginya perhatian terhadap pelatihan ini tercermin dari jumlah pendaftar. Hingga penutupan pada 21 November 2025, tercatat 2.053 ASN Kementerian Agama mendaftar. Setelah melalui proses seleksi, 60 peserta dari berbagai latar belakang dan lima agama dinyatakan lolos. Angka ini menunjukkan meningkatnya kesadaran aparatur negara bahwa isu lingkungan merupakan bagian penting dari pelayanan publik.

Upaya Kementerian Agama dalam mendorong ekoteologi juga diwujudkan melalui kebijakan konkret yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Salah satu kebijakan yang menarik perhatian publik adalah kewajiban menanam pohon bagi calon pengantin yang mendaftarkan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) di sejumlah daerah. Kebijakan ini memadukan momen sakral pernikahan dengan pesan ekologis yang sederhana namun berdampak.

Melalui kebijakan tersebut, pasangan pengantin diajak menyadari bahwa membangun keluarga juga berarti berkomitmen merawat lingkungan. Menanam pohon tidak hanya menjadi simbol harapan bagi kehidupan baru, tetapi juga bentuk kontribusi nyata dalam menjaga keseimbangan alam dan mengurangi dampak perubahan iklim.

Selain itu, Kemenag terus mendorong rumah ibadah ramah lingkungan, gerakan penghijauan berbasis komunitas keagamaan, serta penguatan peran penyuluh agama dalam menyampaikan pesan kepedulian lingkungan. Lembaga keagamaan diposisikan sebagai aktor penting yang mampu menjangkau masyarakat hingga tingkat akar rumput.

Pelatihan ekoteologi diharapkan melahirkan agen-agen perubahan yang mampu mengintegrasikan nilai keagamaan dengan kebijakan dan praktik lingkungan di berbagai sektor. Di tengah bencana yang kian sering terjadi, pendekatan ini menawarkan perspektif bahwa penyelamatan bumi bukan hanya urusan teknologi dan kebijakan, tetapi juga soal kesadaran dan tanggung jawab bersama.

Ketika krisis ekologis menjadi kenyataan sehari-hari, langkah Kementerian Agama ini menunjukkan bahwa agama dapat menjadi bagian dari solusi. Bukan hanya dengan ajaran, tetapi melalui tindakan nyata yang menyentuh kehidupan masyarakat luas.

Latifah/Melipirnews.com

Related Posts

Komentar

Populer Sepekan

Rudy Chen Kenalkan Kemakmuran Muslim Shadian di Tiongkok

Guru yang Menggerakkan Ekonomi Masyarakat Tuban

Mengulik Cerita Para Algojo 65 Menghilangkan Trauma

Antara Pariwisata dan Pelestarian: Dilema Borobudur dalam Perpres 101 Tahun 2024

Menyemai Moderasi Beragama dan Kesadaran Ekologis dari Bandung

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

Kehidupan di Wilayah Perbatasan Tak Seindah Pos Perbatasan

ARTIKEL FAVORIT PEMBACA

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

Rudy Chen Kenalkan Kemakmuran Muslim Shadian di Tiongkok

Timun atau Melon Suri yang Selalu Beredar di Jabodetabek di Bulan Suci?

Judi Online Berlari Liar di Antara Pekerja Informal Hingga Anggota Dewan

Musik Gambus "Milik" Betawi Berunsur Kebudayaan Nusantara

Perpaduan Budaya Penambah Eksotis Masjid Ridho Ilahi, Wilangan, Nganjuk

H.A. Mudzakir, Santri dan Seniman Langka yang Pernah Dimiliki Jepara

Antara Pariwisata dan Pelestarian: Dilema Borobudur dalam Perpres 101 Tahun 2024

Melipir Mewarnai Gerabah di Museum Benteng Vredeburg

Kawasan Menteng Bergaya Eropa Jejak Peninggalan Kebijakan Daendals

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.