......semua hadir dalam Hikayat Sultan Taburat, salah satu naskah kuno yang disalin di kawasan Pecenongan, Jakarta, akhir abad ke-19
Seekor kuda sakti jelmaan makhluk gaib, perempuan menyamar sebagai prajurit demi cinta, hingga pertempuran dahsyat antara jin, dewa, dan manusia—semua hadir dalam Hikayat Sultan Taburat, salah satu naskah kuno yang disalin di kawasan Pecenongan, Jakarta, akhir abad ke-19. Kini, naskah penuh fantasi itu hidup kembali melalui berbagai upaya alih media, dari lagu hingga motif batik.
![]() |
Tangkapan layar seminar (zoom) |
Kisah penuh liku yang tersimpan dalam naskah ML 183D menjadi sorotan utama dalam diskusi bertajuk “Naskah Pecenongan untuk Warga Jakarta: Alih Media sebagai Sarana Pelestarian Pengetahuan dan Sejarah.” Dalam paparannya, filolog Universitas Indonesia, Dr. Rias Antho Rahmi, menyebut bahwa naskah ini secara eksplisit ditulis "untuk kesukaan anak muda-muda" oleh penyalin sekaligus pengarangnya, Muhammad Bakir. “Kisah ini mengandung unsur petualangan, penyamaran, siasat cinta, hingga kesaktian yang heran—istilah kuno untuk ‘ajaib’,” jelasnya.
Baca juga: Keris: Jiwa Budaya yang Tetap Berdenyut dari Masa ke Masa
Alih wahana naskah menjadi lagu berjudul Adinda menjadi salah satu inovasi paling mencolok. Lagu ini memuat lirik yang diadaptasi langsung dari teks hikayat dan menggambarkan tokoh utama, Indra Buganda, yang berpamitan kepada istrinya sebelum mengembara mencari ilmu. Menurut Rias, upaya ini tidak hanya memperkenalkan kembali naskah kepada publik, tetapi juga menyentuh sisi emosional cerita yang sarat rindu dan pengorbanan.
Tak hanya lagu, potensi alih media lainnya juga terus digagas. Komik, film pendek, sendratari, hingga kreasi batik berbasis ilustrasi naskah menjadi beberapa opsi yang dibuka lebar. Tentu ini menyimpan tanya, bagaimana caranya agar naskah ini tidak hanya menjadi artefak yang diam di rak? Jawabannya adalah alih wahana.
Acara ini sendiri merupakan bagian dari rangkaian menuju pengusulan Naskah Pecenongan sebagai bagian dari Ingatan Kolektif Nasional (IKON) 2025. Kegiatan diseminasi yang ketiga ini diselenggarakan secara daring melalui zoom pada Kamis pagi, 26 Juni 2025, oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional RI dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa). Moderator acara, Galang Adhi Pradipta, membuka sesi dengan menekankan pentingnya menjembatani masa lalu dan masa kini melalui narasi-narasi literer yang bisa diterima publik luas.
Nama Muhammad Bakir, tokoh sentral di balik sejumlah naskah Pecenongan, turut dibahas oleh narasumber kedua, Dr. Dewaki Kramadibrata. Ia menyebut Bakir bukan hanya penyalin, tetapi juga kreator dan pegiat literasi yang menghidupi dirinya dari usaha persewaan naskah. “Naskah disewakan 15 sen per malam—lebih mahal dari kisah lain yang rata-rata hanya 10 sen. Ini menunjukkan popularitas dan kualitas cerita yang ia hasilkan,” ujarnya.
![]() |
Advertisement |
Peserta webinar yang berasal dari berbagai instansi turut aktif berdiskusi. Salah satunya adalah Ira dari Dispusip Jakarta yang mengapresiasi hadirnya kembali kosakata lama seperti “rindu dendam” dan “kesaktian yang heran.” Ia juga mengusulkan kolaborasi dalam pengembangan batik berbasis ilustrasi naskah.
Menanggapi itu, Rias menyebut bahwa revitalisasi bahasa dan bentuk adalah bagian dari kerja kreatif lintas sektor. Naskah ini hidup karena daya imajinasi dan keterlibatan banyak pihak. Anak-anak muda perlu ruang untuk mengolahnya menjadi sesuatu yang mereka anggap relevan—entah itu dalam bentuk komik, pementasan, atau bahkan konten digital.
Baca juga: Sunset, Ular, dan Tri Sandya di Tanah Lot
Dalam era ketika perhatian publik mudah teralihkan, upaya menghidupkan kembali naskah Pecenongan menjadi bentuk resistensi kultural. Ia bukan sekadar peninggalan, melainkan warisan kreatif yang terus mencari bentuk baru. Di luar teknis reproduksi, alih media menjadi jalan menuju pelibatan generasi baru dalam merawat ingatan kolektif Kota Jakarta.
Latifah/melipirnews.com
Komentar
Posting Komentar