Di luar ruang kelas, para peserta mendapat kesempatan melihat praktik nyata harmoni antara spiritualitas dan lingkungan melalui kunjungan ke Pondok Pesantren Al-Ittifaq di Ciwidey, Bandung. Berdiri sejak 1934, pesantren ini dikenal sebagai pelopor “Green Pesantren”.
Di Soreang, wilayah Bandung Selatan yang memadukan kesejukan hawa pegunungan dengan lanskap agraris, pada 13-19 November 2025, enam puluh peserta dari beragam profesi dan latar belakang keagamaan berkumpul dengan satu tujuan: belajar merawat kerukunan dan bumi secara lebih bijaksana. Dengan latar belakan beragam, mulai dari pesantren, kampus, sekolah, kantor urusan agama, hingga lembaga pemerintah, mereka terpilih dari sekitar 4.200 pendaftar untuk mengikuti Pelatihan Pengembangan Wawasan Moderasi Beragama dan Internalisasi Ekoteologi. Pelatihan nasional ini terselenggara melalui kolaborasi LPDP, PUSPENMA Kementerian Agama, dan Rumah Moderasi Beragama UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
![]() |
| Peserta Pelatihan Pengembangan Wawasan Moderasi Beragama dan Internalisasi Ekoteologi, 13-19 November 2025 (Latifah/Melipirnews) |
Sejak awal, pelatihan dirancang bukan hanya sebagai forum belajar, melainkan ruang refleksi. Salah satu sesi pembuka yang kuat adalah “Udar Asumsi dan Membangun Perspektif”, sebuah latihan untuk mengenali bias-bias kognitif yang tanpa disadari membentuk cara seseorang memandang kelompok lain. Dari sini, peserta mulai memahami bahwa moderasi tidak dapat berakar tanpa kesadaran diri.
Baca juga: Perpaduan Ibadah, Pasar dan Donasi Membentang di Masjid Jogokaryan
Materi semakin mengalir ketika Prof. Dr. Husnul Qadim, guru besar antropologi agama, memetakan lanskap keberagaman Indonesia yang kompleks. Ia menjelaskan bagaimana kerangka hukum negara menjaga kebebasan beragama, sekaligus menyoroti tantangan naiknya intoleransi dan ekstremisme yang sering kali berakar bukan pada ajaran agama, tetapi pada dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Melalui penjelasannya tentang dua arus besar praktik keberagamaan—substantif–inklusif dan eksklusif–legal formalistik—para peserta diajak melihat bahwa merawat kerukunan membutuhkan cara pandang yang lebih luas dan mendalam.
Perspektif tersebut diperkaya dengan paparan data dari berbagai riset CSIS–Wahid Foundation, PPIM, hingga P3M, yang menunjukkan meningkatnya ujaran kebencian di media sosial dan kecenderungan intoleransi bahkan di lingkungan pendidikan. Data ini menjadi pengingat bahwa tantangan moderasi beragama tidak abstrak, melainkan nyata dan mendesak.
Pada sesi berikutnya, para peserta mempelajari strategi penguatan moderasi melalui pendekatan rethinking, redesigning, reframing, dan reacting. The Iceberg Model digunakan untuk menuntun analisis: bahwa sebuah fenomena sosial keagamaan tidak boleh hanya dilihat pada permukaan kejadian, tetapi harus ditelusuri hingga pola, struktur, dan model mental yang membentuknya. Pendekatan mendalam semacam inilah yang diharapkan dapat menghasilkan perubahan sosial yang lebih kokoh.
Dimensi teologis moderasi beragama tak kalah penting. Prof. Dr. Rosihon Anwar memaparkan empat pilar: Teologi Rahmah, Teologi Keadilan, Teologi Kemanusiaan, dan Teologi Hikmah. Peserta disadarkan bahwa moderasi bukan sekadar strategi sosial, melainkan praktik keagamaan yang bersumber dari ajaran agama itu sendiri, ajaran yang mendorong kasih, keadilan, dan kebijaksanaan.
Selain itu, peserta juga berlatih menyusun Action Plan. Di sini peserta merumuskan langkah konkret untuk membangun ekosistem moderasi beragama di lingkungan kerja mereka—mulai dari perubahan pola pikir hingga kolaborasi lintas sektor. Program ini mendorong setiap peserta pulang dengan visi, bukan hanya catatan materi.
Di luar ruang kelas, para peserta mendapat kesempatan melihat praktik nyata harmoni antara spiritualitas dan lingkungan melalui kunjungan ke Pondok Pesantren Al-Ittifaq di Ciwidey, Bandung. Berdiri sejak 1934, pesantren ini dikenal sebagai pelopor “Green Pesantren”. Di bawah moto khas mereka—“tidak boleh ada sedetik waktu yang nganggur, tidak boleh ada sejengkal tanah yang tidur, dan tidak boleh ada sehelai sampah yang ngawur”—para santri belajar agama sambil mengelola agribisnis organik. Dari pertanian terpadu hingga koperasi petani yang memberdayakan masyarakat sekitar, Al-Ittifaq menunjukkan bahwa nilai keagamaan dapat diwujudkan lewat tindakan ekologis yang berkelanjutan.
Baca juga: Komunitas Agama Global Beserta Pantangan Makanan dan Minumannya
Menjelang penutupan pelatihan, suasana cair ketika peserta diajak membuat sabun dari minyak jelantah—proyek kecil yang menyimpan pesan besar tentang keberlanjutan. Minyak jelantah dikenal berbahaya bagi kesehatan bila digunakan berulang dan, jika dibuang sembarangan, dapat menyumbat drainase, mencemari sungai, menurunkan kadar oksigen air, merusak tanah, hingga menyebabkan banjir. Dengan memanfaatkan kembali minyak jelantah menjadi sabun, peserta belajar bahwa solusi ekologis dapat dimulai dari dapur rumah masing-masing. Mereka mengaduk minyak yang telah disaring ke dalam larutan soda hingga mengental seperti susu kental manis, lalu menuangkannya ke cetakan dan membiarkannya matang dalam beberapa minggu. Sederhana, tetapi berarti.
Pelatihan ini menjadi gambaran bagaimana moderasi beragama dan ekoteologi dapat berjalan beriringan. Dari kelas, ladang, hingga laboratorium sabun rumahan, peserta diajak melihat bahwa merawat kerukunan dan menjaga bumi bermula dari kesadaran, berlanjut pada pemahaman, dan berakhir pada tindakan. Sebuah perjalanan singkat di Bandung, tetapi dengan dampak yang diharapkan panjang untuk kehidupan sosial dan lingkungan di komunitas masing-masing.
Latifah/Melipirnews

Komentar
Posting Komentar