Lampu-lampu panggung di aula Taman Krida Budaya Jawa Timur berpendar lembut, menyorot dua kursi dan layar besar yang siap memutar kisah.
Senin malam (27/10/2025) itu, suasana hangat terbangun melalui cerita yang mengalir tentang kuliner legendaris dari Malang: soto kambing. Para penonton hanyut dalam perjalanan rasa dan sejarah yang dihidupkan kembali lewat film dokumenter dan diskusi bertajuk Etnosotografi Studi Soto Kambing Khas Malang, bagian dari rangkaian Gastrofest Jawa Timur.
Acara itu menghadirkan dua narasumber: Ary Budiyanto, dosen Antropologi Universitas Brawijaya, dan Nedi Putra AW, jurnalis. Keduanya menuturkan hasil penelusuran panjang tentang bagaimana soto kambing lahir, bertahan, dan menjadi bagian dari identitas masyarakat Malang Raya.
Baca juga: Dari Dapur ke Literasi: Pendokumentasian Kuliner Tradisional sebagai Warisan Budaya
Lewat tayangan dokumenter, penonton diajak menelusuri Desa Tegal Gondo di Kecamatan Karangploso, daerah yang dikenal sebagai pusat lahirnya soto kambing Malangan. Di sana, warung-warung sederhana berdiri di tepi jalan, menjaga nyala api dari generasi ke generasi. Setiap pagi, aroma kayu bakar bercampur dengan bumbu halus bawang merah, laos, dan jahe yang ditumbuk dengan tangan—simbol ketekunan para peracik rasa yang mempertahankan cara lama di tengah modernisasi.
Soto kambing khas Malang dikenal dengan kuah kekuningan, campuran jeroan dan daging kambing yang dimasak lama hingga empuk. Beberapa warung menambahkan kecambah segar atau irisan daun jeruk untuk menambah wangi. Ada pula yang mempertahankan penggunaan tokolan kecil, potongan daging khas yang menjadi identitas soto dari wilayah Tegal Gondo. Berbeda dengan soto sapi yang gurih ringan, soto kambing Malangan memiliki karakter rasa yang lebih dalam dan aroma rempah yang kuat, seolah menyimpan cerita dari masa lalu di setiap sendoknya.
Menurut Ary Budiyanto, penelitian ini berangkat dari keprihatinan terhadap minimnya catatan budaya tentang kuliner tradisional. “Kita sering menikmati, tapi tidak tahu siapa di baliknya. Cerita orang-orangnya hilang. Kalau tidak segera dicatat, akar budaya kuliner kita bisa lenyap,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa soto kambing tidak hanya merepresentasikan rasa, tetapi juga kisah pertemuan tradisi Jawa, Madura, dan Tionghoa dalam satu mangkuk sejarah.
Sementara itu, Nedi Putra AW berbagi pengalaman lapangannya selama meneliti delapan warung soto kambing legendaris di Malang. “Butuh waktu hampir dua bulan hingga para penjual mau terbuka. Mereka bukan sekadar memasak, tapi menjaga warisan,” kenangnya. Ia menemukan filosofi yang sederhana namun mendalam dari para peracik: “Tangan beda, rezeki beda.” Prinsip itu mencerminkan keyakinan bahwa setiap tangan memiliki cita rasa dan nasibnya sendiri.
Baca juga: Ayam Lodho Trenggalek: Dari Ritual Sakral hingga Kuliner Legendaris
Diskusi kemudian berkembang menjadi perjalanan rasa lintas generasi. Dari soto Pak Thosim di Tasikmadu hingga soto Pak Sukir di Tegal Gondo, semuanya memiliki benang merah kekerabatan dan kesamaan semangat menjaga tradisi. Bahkan, perubahan kecil seperti jenis kecap yang digunakan—dari merek lokal hingga industri besar—dipandang sebagai penanda perubahan zaman.
Malam itu ditutup dengan apresiasi mendalam pada ketekunan mereka yang menjaga nyala tungku, pada kisah yang lahir dari dapur sederhana, dan pada upaya para peneliti yang mengabadikannya. Moderator Agung H. Buana menegaskan dalam penutup diskusi, “Semangkok soto ternyata juga semangkok ilmu pengetahuan—di dalamnya tersimpan sejarah, budaya, dan cinta yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.”

Komentar
Posting Komentar