Bahasa gaul terlanjur telah menjadi bagian dari budaya digital yang viral sehari-hari.
Istilah-istilah bahasa ini awalnya terbatas pada percakapan sehari-hari, tetapi kini menjadi semakin umum dan diterima secara luas merambah dunia maya. Fenomena bahasa gaul yang viral di media sosial ini kemudian menimbulkan beberapa masalah, terutama terkait dengan kemampuan berbahasa formal dan pemahaman bahasa Indonesia yang tepat di kalangan remaja. Permasalahan itu berkisar pada potensi penurunan kualitas bahasa Indonesia, terutama dalam konteks formal, terlebih lagi khusus di kalangan generasi muda.
![]() |
Ilustrasi fomo. Sumber: www.freepics.com |
Sebagian pendapat menyebutkan, bahasa gaul yang berkembang pesat ini sering kali mengaburkan batas antara bahasa baku yang diajarkan di sekolah dan bahasa yang digunakan dalam komunikasi digital. Penggunaan bahasa gaul yang berlebihan di media sosial dapat berdampak pada kemampuan menulis dan berbicara secara baku. Selain itu, meskipun bahasa gaul mempermudah interaksi sosial dan menumbuhkan rasa kebersamaan antar sesama remaja, dampak jangka panjangnya berpengaruh terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik. Bahasa gaul yang terlalu sering digunakan oleh remaja dapat menurunkan penguasaan bahasa Indonesia.
Ada dua artikel jurnal setidaknya yang perlu dibaca untuk mengupas permasalahan bahasa gaul yang kemudian viral di media sosial ini, yakni H. Abdurrozak, “Pengaruh Media Sosial Tiktok Terhadap Perkembangan Kosakata Bahasa Indonesia Pada Generasi Alfa,” Jurnal Begibung, Vol. 3, No. 2, hal. 171–206, tahun 2025 dan A. A. I. Muhammad Zahrul Jihadurrohim Bajuri, Fauzi Rahman, “Perkembangan Bahasa Di Media Sosial: Dari Bahasa Gaul Hingga Singkatan Populer,” Jurnal Pujangga, Vol. 10, No. 2, hal. 150–166, tahun 2024.
Dapat dibaca dari dua artikel tersebut, ditinjau dari perspektif linguistik, pemerolehan bahasa pada anak-anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka tumbuh. Jika sebelumnya anak-anak dan remaja memperoleh kosakata secara dominan melalui interaksi langsung dengan keluarga, guru, atau teman sebaya di lingkungan nyata, kini mereka mendapatkan stimulus bahasa juga, bahkan sering kali lebih banyak dari dunia digital.
Baca juga: Kepemimpinan Algoritma: Siapkan Pemimpin Jawa Timur Hadapi Era Digital
Bahasa yang berkembang dalam platform media sosial memiliki kekhasan tersendiri yang membedakannya dari bentuk bahasa dalam komunikasi formal. Salah satu ciri paling dominan adalah sifatnya yang informal, spontan, kreatif, dan mengikuti tren. Bahasa dalam media sosial tidak terikat pada kaidah tata bahasa baku, tetapi justru berkembang secara organik dari komunitas pengguna yang luas dan beragam latar belakang usia, sosial, dan budaya.
Selain itu, serapan bahasa asing, khususnya dari bahasa Inggris, menjadi bagian yang melekat dalam konten media sosial TikTok misalnya. Istilah seperti “cringe”,“vibes”,“check”, “POV (Point of View)”, dan “glow up” digunakan secara rutin tanpa translasi, bahkan kadang dicampur dengan bahasa Indonesia dalam satu kalimat. Demikian ini menciptakan bentuk bahasa hibrida yang khas, kadang disebut juga sebagai bahasa campuran atau kode-mixing yang sangat umum di media sosial. Ditambah lagi, emoji, stiker, dan efek suara pun memainkan peran penting dalam memperkuat ekspresi bahasa. Bahasa di media sosial tidak hanya bersifat verbal, tetapi juga multimodal, yaitu menggabungkan suara, gambar, teks, gerak tubuh, serta ekspresi wajah.
Namun begitu, karakteristik bahasa dalam media sosial cenderung tidak konsisten secara struktur linguistik, karena bergantung pada kreativitas pengguna. Bahasa yang digunakan sering kali disingkat, diplesetkan, atau dibalik, sehingga maknanya hanya dapat dipahami oleh komunitas tertentu. Misalnya, penggunaan istilah seperti "ygy" (ya guys ya), "pake banget", atau “kamu nanya?” sebagai frasa konotatif yang tidak memiliki makna literal, tetapi berfungsi sebagai sindiran atau gaya khas dalam konten humor.
Baca juga: Susah-Susah Gampang Bermitra dengan Agensi Iklan Digital
Kosakata tidak baku yang viral di media sosial ini setidaknya mencakup empat jenis. Pertama, kata serapan bahasa asing: kata-kata seperti “cringe”, “vibes”, “random”, “flex”, dan “nolep”(no life people) masuk dengan mudah karena sering muncul di audio TikTok atau caption kreator populer. Kedua, kata gaul dan alay: istilah seperti “gabut”(gaji buta), “mager”(malas gerak), “gaje”(nggak jelas), dan “santuy” (santai) menjadi bagian dari kosakata harian. Kata-kata ini cenderung dipilih karena ringkas, lucu, danterasa lebih ‘kekinian’. Ketiga, ungkapan viral dan frasa ekspresif: Frasa-frasa seperti “kamu nanya?”, “panik nggak panik nggak?”, “check sound”, atau “ini baru aesthetic”menjadi semacam kode sosial yang digunakan untuk membangun kedekatan dengan sesama pengguna media sosial. Keempat, singkatan dari bahasa Inggris, seperti FOMO (fear of missing out), ASAP (as soon as possible), COD (cash on delivery) dan sebagainya.
Melipirnews
Komentar
Posting Komentar