Hasil penelitian menunjukkan betapa mencengangkannya besaran ekonomi bayangan global. Tercatat 11,8% dari total PDB dunia atau setara dengan US$10 triliun beredar di luar sistem ekonomi formal
Dunia saat ini sedang menghadapi tantangan besar yang tersembunyi di balik angka-angka pertumbuhan ekonomi resmi. Sebuah penelitian komprehensif terbaru, "Shadow Economy Exposed: Estimates for the World and Policy Paths" yang dirilis oleh EY (Ernst & Young) pada Maret 2025, berhasil mengungkap fakta mengejutkan tentang besarnya aktivitas ekonomi yang tidak tercatat secara resmi di berbagai negara. Studi yang dilakukan oleh firma analisis ekonomi ternama ini memberikan gambaran paling akurat tentang fenomena ekonomi bayangan yang selama ini sulit diukur.
Baca juga: Pameran Allpack 2024; Peluang Industri Kemasan Masih Terbuka
Ekonomi bayangan atau sektor informal mencakup spektrum aktivitas yang sangat luas, mulai dari transaksi tunai kecil-kecilan yang tidak dilaporkan hingga praktik ilegal seperti perdagangan narkoba. Yang membedakan penelitian EY ini adalah pendekatan analisis pola permintaan uang tunai yang dikombinasikan dengan berbagai indikator makroekonomi, yang menghasilkan data yang lebih komprehensif dibanding studi sebelumnya. Data dari Bank Dunia, IMF, OECD, dan berbagai lembar statistik nasional menjadi pondasi kuat bagi temuan-temuan penting dalam penelitian EY ini.
Hasil penelitian menunjukkan betapa mencengangkannya besaran ekonomi bayangan global. Tercatat 11,8% dari total PDB dunia atau setara dengan US$10 triliun beredar di luar sistem ekonomi formal. Variasi antarnegara pun sangat mencolok, dari yang terendah 2,1% di Uni Emirat Arab hingga yang mencapai 64,5% di Sierra Leone. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi yang cukup mengkhawatirkan dengan ekonomi bayangan sebesar 23,8% dari PDB, lebih tinggi dibanding Malaysia namun lebih baik daripada Filipina. Sektor-sektor seperti perdagangan ritel tradisional, jasa konstruksi, dan usaha mikro makanan-minuman menjadi penyumbang utama ekonomi bayangan di Indonesia.
Faktor pendorong ekonomi bayangan ternyata sangat bervariasi antara negara maju dan berkembang. Di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat, tingginya tarif pajak menjadi pemicu utama. Sementara di Indonesia, masalahnya jauh lebih kompleks mencakup birokrasi yang berbelit, akses perbankan yang terbatas, budaya usaha keluarga yang kurang terdokumentasi, hingga tingkat pemahaman perpajakan yang masih rendah. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum turut memperparah kondisi ini.
Pandemi COVID-19 menciptakan efek paradoks yang menarik. Di satu sisi memicu peningkatan aktivitas informal sebagai mekanisme bertahan hidup, namun di sisi lain justru mempercepat adopsi pembayaran digital yang membantu meminimalkan ekonomi bayangan. Di Indonesia sendiri, transaksi elektronik memang meningkat signifikan selama pandemi, meski belum sepenuhnya mampu menggeser transaksi informal.
Berbagai solusi komprehensif ditawarkan penelitian ini, mulai dari penyederhanaan sistem perpajakan dan birokrasi, peningkatan transparansi pemerintahan, perluasan akses keuangan formal, hingga pemanfaatan teknologi digital. Beberapa negara seperti Italia dan Rwanda telah membuktikan efektivitas pendekatan ini melalui berbagai kebijakan inovatif.
Ekonomi bayangan atau sektor informal mencakup spektrum aktivitas yang sangat luas, mulai dari transaksi tunai kecil-kecilan yang tidak dilaporkan hingga praktik ilegal seperti perdagangan narkoba. Yang membedakan penelitian EY ini adalah pendekatan analisis pola permintaan uang tunai yang dikombinasikan dengan berbagai indikator makroekonomi, yang menghasilkan data yang lebih komprehensif dibanding studi sebelumnya. Data dari Bank Dunia, IMF, OECD, dan berbagai lembar statistik nasional menjadi pondasi kuat bagi temuan-temuan penting dalam penelitian EY ini.
Hasil penelitian menunjukkan betapa mencengangkannya besaran ekonomi bayangan global. Tercatat 11,8% dari total PDB dunia atau setara dengan US$10 triliun beredar di luar sistem ekonomi formal. Variasi antarnegara pun sangat mencolok, dari yang terendah 2,1% di Uni Emirat Arab hingga yang mencapai 64,5% di Sierra Leone. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi yang cukup mengkhawatirkan dengan ekonomi bayangan sebesar 23,8% dari PDB, lebih tinggi dibanding Malaysia namun lebih baik daripada Filipina. Sektor-sektor seperti perdagangan ritel tradisional, jasa konstruksi, dan usaha mikro makanan-minuman menjadi penyumbang utama ekonomi bayangan di Indonesia.
Faktor pendorong ekonomi bayangan ternyata sangat bervariasi antara negara maju dan berkembang. Di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat, tingginya tarif pajak menjadi pemicu utama. Sementara di Indonesia, masalahnya jauh lebih kompleks mencakup birokrasi yang berbelit, akses perbankan yang terbatas, budaya usaha keluarga yang kurang terdokumentasi, hingga tingkat pemahaman perpajakan yang masih rendah. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum turut memperparah kondisi ini.
Pandemi COVID-19 menciptakan efek paradoks yang menarik. Di satu sisi memicu peningkatan aktivitas informal sebagai mekanisme bertahan hidup, namun di sisi lain justru mempercepat adopsi pembayaran digital yang membantu meminimalkan ekonomi bayangan. Di Indonesia sendiri, transaksi elektronik memang meningkat signifikan selama pandemi, meski belum sepenuhnya mampu menggeser transaksi informal.
Berbagai solusi komprehensif ditawarkan penelitian ini, mulai dari penyederhanaan sistem perpajakan dan birokrasi, peningkatan transparansi pemerintahan, perluasan akses keuangan formal, hingga pemanfaatan teknologi digital. Beberapa negara seperti Italia dan Rwanda telah membuktikan efektivitas pendekatan ini melalui berbagai kebijakan inovatif.
Baca juga: Terasa di Sini, Kretek Indonesia Masih Jaya
Bagi Indonesia, temuan ini harus menjadi peringatan serius mengingat dampaknya yang signifikan terhadap penerimaan pajak dan akurasi perencanaan pembangunan. Namun sekaligus membuka peluang untuk memperkuat fondasi perekonomian melalui berbagai langkah strategis seperti memperluas registrasi usaha mikro, mengintegrasikan sistem pembayaran digital, menyederhanakan prosedur perpajakan UMKM, hingga meningkatkan literasi keuangan masyarakat.
Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, langkah Indonesia dalam menangani isu ini akan menjadi contoh penting bagi negara berkembang lain. Kunci keberhasilannya terletak pada pendekatan holistik yang memadukan reformasi struktural dengan perlindungan terhadap pelaku usaha kecil, serta kolaborasi antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Transisi menuju ekonomi formal perlu dilakukan secara bertahap dan manusiawi, mengubah tantangan ini menjadi peluang untuk membangun sistem ekonomi yang lebih sehat, transparan, dan inklusif di masa depan.
Latifah/Melipirnews.com
Bagi Indonesia, temuan ini harus menjadi peringatan serius mengingat dampaknya yang signifikan terhadap penerimaan pajak dan akurasi perencanaan pembangunan. Namun sekaligus membuka peluang untuk memperkuat fondasi perekonomian melalui berbagai langkah strategis seperti memperluas registrasi usaha mikro, mengintegrasikan sistem pembayaran digital, menyederhanakan prosedur perpajakan UMKM, hingga meningkatkan literasi keuangan masyarakat.
Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, langkah Indonesia dalam menangani isu ini akan menjadi contoh penting bagi negara berkembang lain. Kunci keberhasilannya terletak pada pendekatan holistik yang memadukan reformasi struktural dengan perlindungan terhadap pelaku usaha kecil, serta kolaborasi antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Transisi menuju ekonomi formal perlu dilakukan secara bertahap dan manusiawi, mengubah tantangan ini menjadi peluang untuk membangun sistem ekonomi yang lebih sehat, transparan, dan inklusif di masa depan.
Latifah/Melipirnews.com
Komentar
Posting Komentar