Mie ayam, lumpia, siomay, hingga nasi tim ayam—bukan sekadar makanan favorit masyarakat Indonesia, tapi juga cerminan dari jejak panjang warisan budaya Tionghoa yang terus hidup di tengah kehidupan sehari-hari.
Keberadaan kuliner-kuliner ini tidak pernah benar-benar terlupakan, justru menjadi pengingat akan pertemuan budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad. Inilah yang menjadi fokus dalam seminar daring bertajuk Chinese Indonesian Heritage: Menyelami Warisan Kuliner sebagai Identitas dan Memori Kolektif, yang digelar pada 5 Juli oleh tim riset Diaspora Erfgoed in Beweging.
![]() |
Dok. Istimewa |
Tiga pembicara utama—Amorisa Wiratri, Johannes Widodo, dan Lilawati Kurnia—mengupas dari berbagai sisi tentang bagaimana makanan bisa jadi lebih dari sekadar asupan gizi: ia adalah warisan budaya, ekspresi identitas, dan kenangan kolektif yang terus hidup dari generasi ke generasi.
Dari Dapur ke Jejak Sejarah
Amorisa Wiratri, peneliti dari BRIN dan Asia Research Institute (NUS), mengajak audiens menyusuri sejarah panjang komunitas Tionghoa di Indonesia, yang telah hadir sejak abad ke-13. Beragam kelompok seperti Hokkien, Hakka, Teochew, Cantonese, hingga Hainan membawa serta kekayaan budaya, termasuk tradisi kuliner yang melebur dan berkembang dalam konteks lokal.
Hidangan seperti bakmi, bakso, lumpia, hingga siomay yang kini begitu lekat dalam keseharian masyarakat Indonesia sejatinya berasal dari dapur komunitas Tionghoa. Namun seiring waktu, makanan-makanan ini mengalami proses lokalisasi dan banyak di antaranya kini dianggap sebagai bagian dari “kuliner Indonesia”. Fenomena ini, menurut Amorisa, menunjukkan betapa makanan bisa menjadi jembatan antara identitas leluhur dan kehidupan masa kini—menghubungkan masa lalu dengan realitas kekinian.
![]() |
Advertisement |
Baca juga: Para Penjaga Singkong dari Sekadar Makanan Biasa
Lebih dari sekadar pengisi perut, makanan memiliki dimensi emosional yang kuat, terutama bagi komunitas diaspora. Aroma dan rasa khas masakan leluhur bisa menjadi semacam "kompas batin" yang menghubungkan mereka dengan akar budaya dan identitas. Rasa yang familiar bukan hanya memanjakan lidah, tetapi juga membangkitkan rasa nyaman, aman, dan akrab—seolah menghadirkan kembali nuansa rumah, meski secara fisik berada jauh dari tanah asal.
Inilah mengapa banyak keluarga Tionghoa di Indonesia masih setia menjaga dan menyajikan resep-resep turun-temurun. Dari pemilihan bumbu hingga teknik memasaknya, semua dilestarikan sebagai cara untuk merawat ingatan akan asal-usul, sekaligus membangun rasa memiliki di tanah tempat mereka kini menetap.
Makanan pun berperan sebagai “rumah simbolik”—ruang emosional yang menghadirkan keakraban, keintiman, dan rasa identitas di tengah dunia yang terus berubah. Lewat makanan, komunitas diaspora tidak hanya mempertahankan budaya mereka, tapi juga menyampaikan pesan: inilah siapa kami, dan inilah rasa yang menyatukan kami.
“Kita Adalah Apa yang Kita Makan”
Sementara itu, Johannes Widodo, jugadari National University of Singapore (NUS) membawa diskusi ke level yang lebih filosofis. Ia memandang kuliner sebagai bagian dari ekologi budaya—sebuah sistem hidup di mana teknik memasak, alat dapur, bahan makanan, dan kebiasaan makan saling berpengaruh dan terus berubah sesuai konteks sejarah dan ruang.
Menurutnya, budaya kuliner Asia Tenggara, termasuk Indonesia, adalah hasil dari perjalanan panjang: migrasi, perdagangan, kolonialisme, bahkan globalisasi. Dalam setiap suapan, tersimpan lapisan-lapisan sejarah. “We are what we eat,” ujarnya dalam pemaparannya. Kalimat itu jadi pengingat bahwa makanan adalah ekspresi dari siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita menuju sebagai masyarakat yang terus bergerak.
Lebih dari sekadar pengisi perut, makanan memiliki dimensi emosional yang kuat, terutama bagi komunitas diaspora. Aroma dan rasa khas masakan leluhur bisa menjadi semacam "kompas batin" yang menghubungkan mereka dengan akar budaya dan identitas. Rasa yang familiar bukan hanya memanjakan lidah, tetapi juga membangkitkan rasa nyaman, aman, dan akrab—seolah menghadirkan kembali nuansa rumah, meski secara fisik berada jauh dari tanah asal.
Inilah mengapa banyak keluarga Tionghoa di Indonesia masih setia menjaga dan menyajikan resep-resep turun-temurun. Dari pemilihan bumbu hingga teknik memasaknya, semua dilestarikan sebagai cara untuk merawat ingatan akan asal-usul, sekaligus membangun rasa memiliki di tanah tempat mereka kini menetap.
Makanan pun berperan sebagai “rumah simbolik”—ruang emosional yang menghadirkan keakraban, keintiman, dan rasa identitas di tengah dunia yang terus berubah. Lewat makanan, komunitas diaspora tidak hanya mempertahankan budaya mereka, tapi juga menyampaikan pesan: inilah siapa kami, dan inilah rasa yang menyatukan kami.
“Kita Adalah Apa yang Kita Makan”
Sementara itu, Johannes Widodo, jugadari National University of Singapore (NUS) membawa diskusi ke level yang lebih filosofis. Ia memandang kuliner sebagai bagian dari ekologi budaya—sebuah sistem hidup di mana teknik memasak, alat dapur, bahan makanan, dan kebiasaan makan saling berpengaruh dan terus berubah sesuai konteks sejarah dan ruang.
Menurutnya, budaya kuliner Asia Tenggara, termasuk Indonesia, adalah hasil dari perjalanan panjang: migrasi, perdagangan, kolonialisme, bahkan globalisasi. Dalam setiap suapan, tersimpan lapisan-lapisan sejarah. “We are what we eat,” ujarnya dalam pemaparannya. Kalimat itu jadi pengingat bahwa makanan adalah ekspresi dari siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita menuju sebagai masyarakat yang terus bergerak.
![]() |
Advertisement |
Peran Dapur sebagai Penjaga Budaya
Pembicara terakhir, Lilawati Kurnia dari Universitas Indonesia (UI), mengangkat sisi tentang bagaimana makanan dan perempuan saling terkait dalam menjaga identitas budaya. Di banyak keluarga Tionghoa-Indonesia, perempuan memegang peran penting sebagai penjaga resep dan tradisi kuliner.
Yang menarik, generasi muda Tionghoa-Indonesia kini mulai bergerak. Mereka menciptakan ruang-ruang baru untuk merayakan identitas melalui festival makanan, restoran pop-up, hingga media sosial. Dapur berubah menjadi ruang ekspresi, dan makanan menjadi media untuk memperkenalkan kembali jati diri mereka kepada publik yang lebih luas.
Makanan sebagai Arsip Rasa
Di balik semangkuk bakso hangat atau sepotong lumpia yang renyah, tersimpan lebih dari sekadar rasa—ada kenangan keluarga, cerita migrasi, dan perjalanan panjang identitas. Dari dapur ke meja makan, dari generasi ke generasi, makanan menjadi arsip hidup yang merekam siapa kita dan dari mana kita berasal. Tiga pembicara dalam seminar ini seolah mengajak kita merenung: bahwa menjaga resep lama bukan hanya soal mempertahankan rasa, tetapi juga merawat kisah-kisah yang membentuk kita.
Latifah/melipirnews.com
Komentar
Posting Komentar