Ceritanya berpusat pada Panji Asmorobangun, pangeran dari Kerajaan Jenggala, yang diuji kesetiaannya ketika kekasihnya, Dewi Sekartaji, menghilang tanpa jejak
![]() |
Pentas Panji Mangu (Latifah/Melipirnews) |
Malam itu, Taman Krida Budaya Malang kebanjiran antuasiasme ratusan penonton. Mayoritas generasi muda. Mereka berkerumun menyaksikan pertunjukan Topeng Malangan berjudul "Panji Mangu".
Acara yang digelar pada 13 Juli 2025 ini sukses menarik perhatian tidak hanya pecinta seni tradisi, tetapi juga kaum muda yang ingin mengeksplorasi kekayaan budaya Jawa Timur. Panitia bahkan harus berulang kali menambah karpet alas duduk untuk menampung penonton yang terus berdatangan. Namun, banyak yang lebih memilih menyaksikan sambil berdiri, terutama untuk mendapatkan sudut pandang terbaik menikmati pertunjukan.
Baca juga: Keris: Jiwa Budaya yang Tetap Berdenyut dari Masa ke Masa
Mohammad Yasin, Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur, dalam sambutannya menyatakan bahwa pertunjukan ini merupakan bagian dari upaya melestarikan dan mengenalkan kembali warisan budaya lokal kepada generasi muda. Gelaran ini juga menjadi langkah konkret untuk lebih menghidupkan Bentara Budaya Malang sebagai pusat aktivitas seni dan budaya.
![]() |
Advertisement |
Kisah Cinta Abadi yang Tak Pernah Pudar
"Panji Mangu" mengangkat fragmen dari Cerita Panji, sebuah kisah klasik yang berakar di Jawa Timur. Membanggakannya, cerita klasik ini telah menyebar ke berbagai negara Asia seperti Kamboja, Thailand, dan Malaysia.
Ceritanya berpusat pada Panji Asmorobangun, pangeran dari Kerajaan Jenggala, yang diuji kesetiaannya ketika kekasihnya, Dewi Sekartaji, menghilang tanpa jejak. Dalam keputusasaan, Panji memilih meninggalkan istana dan memulai pengembaraan panjang untuk menemukan cintanya. Perjalanan itu membawanya ke Kerajaan Ngurawan, tempatnya bertemu dengan Nawangresmi, putri Demang Wengker, yang memiliki kemiripan mencolok dengan Sekartaji.
Konflik batin Panji menjadi jiwa pertunjukan—di satu sisi, ia terpesona oleh Nawangresmi, di sisi lain, cintanya pada Sekartaji tetap membara. Drama psikologis ini tak hanya hidup lewat gerak tari yang penuh makna dan topeng-topeng yang bicara, tetapi juga oleh aroma kemenyan yang menyelimuti ruang—seolah mengajak penonton menghirup dunia Panji itu sendiri, merasakan setiap gejolak batinnya lewat sensasi yang menyentuh lebih dari sekadar mata dan telinga.
Kolaborasi Tradisi dan Modernitas
Salah satu daya tarik utama "Panji Mangu" adalah kemampuannya menghadirkan seni tradisi dengan kemasan segar. Tari topeng Malangan diramu dengan musik kontemporer dan tata panggung modern, yang membuatnya lebih dinamis dan mudah dinikmati anak muda.
Kreator pertunjukan juga tampak sengaja memasukkan unsur humor dan lagu-lagu populer agar penonton muda tidak merasa asing dengan cerita ini. Sayangnya, beberapa adegan komedi—terutama dialog berkepanjangan antara dua pemain—kurang terdengar jelas karena sound system yang keras namun kurang jernih. Meski begitu, tata artistik panggung yang menggambarkan perjalanan Panji melalui hutan dan kerajaan berhasil mencuri perhatian.
![]() |
Advertisement |
Antusiasme Penonton Bukti Seni Tradisi Masih Relevan
Di balik kemasan yang menghibur, "Panji Mangu" menyimpan nilai-nilai filosofis yang relevan dengan kehidupan modern. Kisah Panji mengajarkan tentang kesetiaan, keberanian mengambil risiko, dan keteguhan hati dalam menghadapi ketidakpastian. Pertunjukan ini mengingatkan kita bahwa cinta sejati butuh perjuangan, sama seperti upaya melestarikan budaya
Kehadiran ratusan penonton muda membuktikan bahwa seni tradisi tidak harus ketinggalan zaman. Upaya kreatif tim produksi menjadi contoh bagus bagaimana melestarikan budaya tanpa kehilangan jiwa aslinya.
Baca juga: Dari Dapur ke Literasi: Pendokumentasian Kuliner Tradisional sebagai Warisan Budaya
"Panji Mangu" menjadi pernyataan bahwa seni tradisi masih hidup dan bisa beradaptasi. Dengan pendekatan kreatif, kisah klasik ini berhasil menjembatani generasi tua dan muda, sekaligus membuktikan bahwa warisan budaya bisa tetap eksis di tengah derasnya arus modernisasi.
Keberhasilan acara ini juga membuka peluang bagi gelaran serupa di masa depan, mungkin dengan peningkatan teknis seperti sound system yang lebih baik. Yang jelas, antusiasme penonton malam itu menjadi sinyal kuat bahwa minat terhadap seni tradisi masih ada—asal dikemas dengan cara yang tepat.
Bagi Jawa Timur, "Panji Mangu" adalah kebanggaan. Bagi generasi muda, ia adalah pengingat bahwa budaya bukan sekadar masa lalu, tapi juga masa depan.
Latifah/Melipirnews.com
Komentar
Posting Komentar