Apa sebenarnya "sastra Indonesia"?
Selama ini, definisinya kerap dibatasi sebagai karya sastra bermedium bahasa Indonesia. Namun, dalam acara Fiction Submissions in Foreign Litmags yang digelar di Kafe Pustaka Malang, Sabtu (26/7), Damhuri Muhammad—cerpenis, esais, dan pendiri Porch Literary Magazine—mengajak audiens merefleksikan ulang batasan itu. Bagaimana jika sastra Indonesia justru menemukan ruang barunya melalui bahasa Inggris? Bagaimana peran sastrawan yang menulis langsung dalam bahasa asing, terutama Inggris, dalam memperkenalkan keindonesiaan dan keasiatenggaraan di panggung global?
![]() |
Damhuri Mohammad (Latifah/Melipirnews) |
Merangkul Bahasa Inggris, Merawat Keindonesiaan
Damhuri Muhammad, yang karyanya terbit di The Daily Star, Mekong Review, hingga The Pine Cone Review, memulai diskusi dengan pertanyaan provokatif: "Apakah sastra Indonesia harus selalu berbahasa Indonesia?" Menurutnya, dalam ekosistem sastra global, bahasa Inggris menjadi "jembatan" yang tak terhindarkan. “Indonesia ini kan suka berandai-andai dengan idealisasi harus mengglobal, harus mendunia gitu ya. Tapi enggak tahu caranya gitu loh. Ini hanya salah satu strategi saja. Kalau memang ingin menjadi penulis yang distribusi pembacanya mengglobal... memang harus punya portofolio menulis dalam bahasa Inggris," ujarnya.
Baca juga: Dalam Jumbo Pun, Cerita Hantu dan Makam Tak Terlewatkan
Ia mencontohkan penulis seperti Han Kang (Korea Selatan) dan Banu Mushtaq (India), yang meraih pengakuan global berkat terjemahan dan jaringan penerbitan internasional. "Hankang itu bisa mendapatkan Nobel karena jaringan penerjemahan dari karya beliau itulah yang menyebabkan karyanya akhirnya dilirik oleh orang luar," tambah Damhuri.
Strategi Jitu Menembus Media Sastra Internasional
Damhuri Muhammad membagikan kiat-kiat praktis yang telah teruji untuk penulis Indonesia yang ingin karyanya dilirik media internasional. Salah satu prinsip dasarnya adalah memulai dari hal kecil. Alih-alih langsung menargetkan novel tebal, ia menyarankan untuk mencoba karya-karya mini terlebih dahulu. "Tak perlu langsung menulis novel. Mulailah dari yang mini," ujarnya dengan semangat.
Ia mencontohkan platform seperti Planet.com yang khusus menerima cerita super pendek hanya 75 kata, atau Flash Frog dan Five Minutes Lit yang fokus pada flash fiction 750 kata dan micro memoir 100 kata. Pendekatan bertahap ini memungkinkan penulis pemula untuk memahami selera pasar global tanpa terbebani.
Di tengah maraknya penggunaan kecerdasan buatan, Damhuri memberikan peringatan penting. Meski mengakui AI bisa membantu dalam proses penerjemahan dan penyuntingan, ia menekankan bahwa hasilnya harus benar-benar "dicuci bersih". "Banyak majalah Barat yang menolak teks hasil AI," tegasnya.
Para editor internasional, menurutnya, memiliki alat pendeteksi yang mampu mengenali karya mesin, sehingga keaslian dan sentuhan manusiawi tetap menjadi nilai utama.
Tips paling unik datang dari pengalaman pribadinya mengelola media sosial. Damhuri memperkenalkan konsep "sanitasi algoritma" - sebuah praktik mengubah lini masa digital menjadi ruang belajar. "Ikuti akun penulis internasional, majalah sastra, dan workshop creative writing. Jangan biarkan algoritma Anda penuh dengan konten sampah," sarannya.
Dengan mendisiplinkan diri hanya mengonsumsi konten berkualitas, seorang penulis secara tidak langsung akan terlatih untuk memahami standar global.
Yang tak kalah penting adalah pemilihan tema. Damhuri mengajak penulis Indonesia untuk melihat kembali kekayaan lokal dengan perspektif baru. Seperti kesuksesan karya Han Kang yang mengangkat isu Korea Selatan dengan cara yang mampu menyentuh pembaca global, ia mendorong penulis Tanah Air untuk menggali isu-isu seperti ketimpangan sosial, budaya maritim, atau kekayaan etnik dengan sudut pandang yang segar. Yang lokal bisa menjadi global asal disampaikan dengan cara yang universal. "Kita bisa tampak besar bila kita memperbesar tubuh representasi dari sastra kita... dengan semangat berbasis regional," pungkasnya.
Dirinya melanjutkan, "media internasional (redaksi) tidak lagi menyebut teks ini dari Argentina... tetapi menyebutnya sebagai bagian dari sastra Latin Amerika.” Seperti ketika kita menyebut "sastra Skandinavia" (alih-alih sastra Norwegia/Swedia) atau "sastra Afrika" tanpa spesifikasi negara: Damhuri menunjukkan bahwa framing universal (seperti "Latin Amerika") lebih mudah diterima pasar global dibanding identitas nasional sempit. Hal ini ia terapkan di Porch Literary Magazine dengan mengelompokkan karya Asia Tenggara sebagai satu entitas.
Melalui strategi bertahap ini - mulai dari karya mini, penggunaan teknologi yang bijak, pengelolaan media sosial yang efektif, hingga pendekatan tematik yang cerdas - Damhuri meyakini penulis Indonesia mampu menembus pasar sastra internasional tanpa kehilangan ide.
Kekuatan Lokal, Resonansi Global
Diskusi semakin hidup ketika seorang peserta menceritakan pengalamannya menemukan karya sastra Jawa yang sukses di pasaran internasional. Damhuri langsung menyambut dengan antusias. "Dunia Barat selalu tertarik pada hal-hal berbasis etnik, baik dalam sastra maupun musik," katanya. Namun ia mengingatkan, keunikan budaya lokal harus disajikan dengan kedalaman agar tidak sekadar menjadi komoditas eksotisme.
Baca juga: Menyimak Nasihat Nyai Ontosoroh Kepada Minke Di Tengah Peringati Seabad Pramoedya
Ketika acara memasuki sesi penutup, Damhuri meninggalkan pesan penuh harapan, menyentil kebiasaan kita sebagai penulis yang sering minder sebelum mencoba. "Orang India itu memang dari kecil memang sudah terbiasa dan secara wacana dan isu sebenarnya kita enggak kalah. Cuma mereka punya satu keberanian berani nulis walaupun awalnya itu juelek walaupun awalnya dihina mereka masa bodoh. Mereka terus-terusan nulis dan akhirnya mereka pasti ada titik temunya, ada titik di saat mereka melesat kayak gitu."
Acara yang berlangsung selama dua jam ini menjadi semacam deklarasi bahwa sastra Indonesia memiliki potensi besar untuk bersaing di tingkat global. Damhuri Muhammad, dengan segala pengalaman dan pengetahuannya, telah membuka mata banyak orang bahwa batasan bahasa tidak seharusnya menjadi penghalang untuk berkreasi dan dikenal dunia.
Latifah/melipirnews.com
Komentar
Posting Komentar