Mengulik Cerita Para Algojo 65 Menghilangkan Trauma

Caranya yaitu dengan merusak golok yang digunakan menjadi tidak berbentuk lagi dan juga terus mengamalkan ritual dan bacaan-bacaan yang disarankan para kiai yang pernah menggembleng mereka

Setiap memasuki bulan September, bangsa Indonesia selalu diingatkan dengan peristiwa berdarah sekitar terjadinya peristiwa 1965. Lebih-lebih di daerah yang menjadi salah satu pusat terjadinya peristiwa itu, seperti di kawasan Jawa Timur

Dok. Perpusnas RI

Menjelang pecahnya peristiwa gerakan tiga puluh September, Kediri, Nganjuk, Trenggalek, Bojonegoro dan sekitarnya, kebencian kaum abangan terhadap kaum santri yang berlanjut pada tindakan kebrutalan dan kekerasan yang melibatkan kedua belah pihak terpampang seperti dalam lembaran-lembaran sebuah buku. Kemarahan kaum santri memuncak akibat gangguan dan ancaman kaum abangan yang terpapar ideologi komunisme. Nyawa kemudian menjadi barang yang seakan tak berharga.

Di salah satu sudut wilayah di kawasan Nganjuk, tepatnya di kecamatan Prambon, menjelang meletusnya pemberontakan PKI 1965, suasana panas terjadi di masyarakat. Penistaan terhadap kaum santri, terkombinasi dengan penyerobotan lahan para pemilik lahan, termasuk di dalamnya para elit santri, membuat kaum abangan yang terpapar ideologi komunisme bisa berbuat sedemikian nekatnya. Mereka membangun konfrontasi dengan kalangan santri. 

Pentas seni tradisional yang semestinya bisa membangkitkan rasa seni dan keindahan pada penonton, malah diubah menjadi ajang agitasi dan penistaan terhadap keyakinan. Para pemilik lahan juga tidak tenang karena tanah-tanah mereka terancam diserobot. Partai Komunis Indonesia (PKI) menyerukan aksi penyerobotan lahan itu atas dasar Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 yang belum diterbitkan aturan turunannya. Manuver PKI inilah yang mengompori kaum Jawa abangan untuk menjadi brutal dan seperti kehilangan ke-jawa-annya dengan melakukan penghinaan terhadap keyakinan kaum santri dan melalukan penyerobotan lahan. 

Setelah pembunuhan para jendral di Jakarta 30 September 1965 terjadi, maka para pendekar di kawasan Prambon pun disiapkan untuk melakukan penghentian aksi kaum abangan yang terus mengacaukan ketertiban masyarakat dan mengancam kehidupan kaum santri. Para algojo pun disiapkan. Mereka dilatih ilmu kanuragan dan digembleng dengan amalan-amalan khusus yang berlaku di kalangan santri. Suka tidak suka, mereka didapuk untuk membunuhi sesama anak bangsa sendiri. Suka tidak suka, tidak ada pilihan lain. Mereka dibunuh atau mereka membunuh. Situasinya mirip seperti perang saudara.

Salah satu anak algojo dari Prambon menuturkan, ayahnya dulu ditugaskan untuk membabat leher orang-orang yang dituduh PKI di kawasan Brenggolo, Kediri. Puluhan hingga ratusan leher ditebas dengan golok. Tubuh-tubuh yang sudah menjadi bangkai itu kemudian dikubur di lubang yang sama. Ayahnya berangkat bersama dengan 11 pria lain yang berasal dari satu desa yang sama dan diangkut menggunakan kendaraan. 

Namun, selayaknya operasi intelijen, selesai melakukan penugasan, mereka dibiarkan sendiri setelah tugas dituntaskan. Mereka pun akhirnya pulang dengan jalan kaki dari Kediri menuju desa mereka Prambon. Mengetahui segerombolan orang berjalan kaki, menjelang penyebrangan perahu di pinggiran sungai Brantas, mereka justru diteriaki pelarian PKI dan hendak ditangkap. Namun salah satu dari membalas dengan teriakan, mereka dari kelompok ormas tertentu yang hendak pulang ke desanya. Mereka pun tidak menceritakan kalau mereka selesai menumpas para pengikut PKI.

Setelah operasi penumpasan anggota PKI dihentikan, tinggal menyisakan trauma bagi banyak pihak. Salah satu pihak yang dikejar-kejar trauma tidak lain para algojo sendiri. Bagaimana para algojo itu menghilangkan trauma setelah pernah melakukan pembunuhan dan penghilangan nyawa? Kata anak algojo dari Prambon itu, ia menuturkan apa yang dikerjakan orangtuanya, caranya yaitu dengan merusak golok yang digunakan menjadi tidak berbentuk lagi dan juga terus mengamalkan ritual dan bacaan-bacaan yang disarankan para kiai yang pernah menggembleng mereka. 

Zaenal Eko/Melipirnews 

Komentar

Populer Sepekan

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

Kampus Berdampak: Ketika Akademisi dan Masyarakat Bersinergi Menciptakan Solusi Nyata

Rudy Chen Kenalkan Kemakmuran Muslim Shadian di Tiongkok

UI Cordoba, Visi Besar Seorang Politisi dari Ujung Timur Pulau Jawa

Alih Naskah Pecenongan, Jakarta ke Panggung Imajinasi Lagu dan Komik

Setelah Setengah Abad Menghilang, Wayang Topeng Menak Malangan Bangkit Kembali

Menguak Misteri UFO di Malang: Ketika Intuisi dan Sains Berkolaborasi

Panjat Pinang, Selain Menghibur Juga Mempersatukan

ARTIKEL FAVORIT PEMBACA

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

Timun atau Melon Suri yang Selalu Beredar di Jabodetabek di Bulan Suci?

Rudy Chen Kenalkan Kemakmuran Muslim Shadian di Tiongkok

Judi Online Berlari Liar di Antara Pekerja Informal Hingga Anggota Dewan

Musik Gambus "Milik" Betawi Berunsur Kebudayaan Nusantara

Perpaduan Budaya Penambah Eksotis Masjid Ridho Ilahi, Wilangan, Nganjuk

H.A. Mudzakir, Santri dan Seniman Langka yang Pernah Dimiliki Jepara

Antara Pariwisata dan Pelestarian: Dilema Borobudur dalam Perpres 101 Tahun 2024

Melipir Mewarnai Gerabah di Museum Benteng Vredeburg

Kawasan Menteng Bergaya Eropa Jejak Peninggalan Kebijakan Daendals

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.