Rahasia Di Balik Kemajuan China

Nama pendeknya Wang. Kamerad yang sering terlihat hanya telanjang dada kala berada di kamarnya di sebuah komplek asrama mahasiswa di Malaysia ini amat membanggakan berjalannya sistem politik dan pemerintahan negaranya yang berdasarkan paham komunisme. Persoalannya bukan komunisme a la Soviet atau Korea Utara yang diceritakan terjadi di negerinya. Sebaliknya, komunisme yang mengejar kapital dan meratakan kemakmuran secara kolosal.

Ilustasi kebijakan satu anak di China (depositphoto.com)

Adalah jelas, komando berlaku tunggal dan terpusat. Di setiap jenjang wilayah pemerintahan dari desa hingga nasional ada komandan dan komandonya seturut dengan komando pusat. Namun bukan cerita kemalangan seperti rakyat Korut sebagai akibat dari pemberlakuan komunisme itu.  Dalam tuturannya, seperti tidak ada kengerian lagi menyoal komunisme. Kisahnya tentang kemajuan pembangunan ekonomi, stabilitas politik, pengembangan infrastruktur dan investasi negaranya di luar negeri, semangat kerja SDM negerinya, yang dicapai oleh negara dengan jumlah populasi mencapai 1,6 miliar manusia, membuat ciut nyali. 

Tak banyak hari libur di negaranya. Hanya 7 hari di saat tahun baru China (Imlek). Semua orang harus kerja sepanjang tahun dan negara amat peduli dengan kebutuhan warganya. Termasuk jika ingin belajar ke luar negeri. 

Seperti ia yang sedang menyelesaikan disertasi S-3nya, ia disokong oleh pemerintahnya. Walaupun usianya sudah kepala 5, tidak menjadi halangan untuk mendapatkan beasiswa dari pemerintah China. Apalagi profesinya sebagai dosen di sebuah kampus milik pemerintah. Ia heran jika ada dosen yang sedang belajar masih dituntut untuk sambil bekerja oleh pemerintahnya. 

Semangat pemerintahnya dalam mendukung pendidikan itu sebangun dengan posisi perguruan tinggi di negeri itu, yang katanya, rata-rata duduk di top universities dunia, menunjuk pada berbagai pengindeks kampus dunia, semisal Times Higher Education (THE), Academic Ranking of World Universities (ARWU), dan Quacquarelli Symonds Top Universities (QS).

Tak banyak hari libur di negaranya. Hanya 7 hari di saat tahun baru China (Imlek). Semua orang harus kerja sepanjang tahun dan negara amat peduli dengan kebutuhan warganya. Termasuk jika ingin belajar ke luar negeri. 

Hanya satu kampus yang diseganinya di kawasan Asia Tenggara, yaitu NUS yang ada di Singapura itu. Lainnya menurutnya masih di bawah kampus-kampus top yang ada di negerinya. Dengan nada merendah, kampusnya sendiri disebutnya berada hanya di level empat. Ketika ditanya balik, mengapa kuliah di sini? Jawabnya karena biayanya lebih murah saja. Lebih murah ketimbang kuliah di Barat, dengan kualitas kampus yang cukup baik. Menurutnya, anak-anak muda yang cemerlang dan fasih Bahasa Inggrisnya sudah otomatis dikirim pemerintahnya ke kampus-kampus Eropa dan Amerika Utara. Dirinya sendiri menyelesaikan studi masternya di Inggris.

Walaupun bangga akan capaian negerinya, namun ia amat tidak menyukai Mao Tze Tung. Bukan karena sosok yang menancapkan kuku-kuku komunisme di negaranya, namun gegara sosok ini, sekitar 30an juta orang kehilangan nyawa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Gara-gara Mao juga peninggalan budaya hampir luluh lantak di negerinya, akibat kebijakan revolusi kebudayaan. Mencoba mengenang situasi politik di Indonesia di tahun 1960-an akhir, yang menelan korban sekitar setengah juta jiwa, dengan desah nafas dalam, ia menyesalkan mengapa Mao justru tidak berusaha mencegahnya. 

MN

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama