Terkini, terungkap bahwa sebanyak 1.900 jenazah korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ke luar negeri yang dipulangkan ke Tanah Air dalam tiga tahun belakangan
Masih ingat kasus kekerasan yang dialami Nirmala Bonat dari majikannya yang ramai diberitakan tahun 2004-2010? Kasus itu begitu heboh hingga masuk ke pengadilan. Akhirnya pengadilan memutuskan, Nirmala mendapatkan haknya sebagai korban termasuk pemulihan kesehatannya dan ganti rugi materi. Donasi dari warga yang simpati juga mengalir. Waktu itu pun sebenarnya ramai disinggung status pekerjaan Nirmala Bonat di Malaysia yang diduga tanpa dokumen resmi, termasuk dokumen kontrak kerja. Pekerjaannya pun yang berposisi sebagai pembantu rumah tangga (PRT) dipandang cukup riskan waktu itu karena belum diatur dalam MoU antara Indonesia dan Malaysia.
Menkopolhukam, Mahfud MD (Twitter)
Sayangnya kasus kekerasan yang menimpa Nirmala bukanlah akhir cerita pahit buruh migran Indonesia di luar negeri. Terbaru, bukan hanya disiksa, melainkan sampai meninggal dunia. Bahkan kasus TKI yang meninggal di luar negeri semakin memprihatinkan. Terkini, terungkap bahwa sebanyak 1.900 jenazah korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ke luar negeri yang dipulangkan ke Tanah Air dalam tiga tahun belakangan. Khusus Nusa Tenggara Timur (NTT), provinsi yang dikenal menjadi kantong pekerja informal ke luar negeri, terdapat 53 jenazah WNI yang dipulangkan dalam kurun waktu Januari - Mei 2023. Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) ini dilaporkan oleh Menkopolhukam, Mahfud MD, 30 Mei 2023.
Para korban ini kebanyakan merupakan para pekerja yang tertipu oleh calo tenaga kerja yang beroperasi di daerah-daerah. Mereka memanfaatkan rendahnya tingkat ekonomi dan pendidikan para korban dan diiming-imingi kerja dengan penghasilan melimpah di luar negeri. Begitu kerja di luar negeri, justru yang dijumpai pekerjaan nonformal tanpa kontrak, pekerjaan kasar penuh risiko tinggi serta tanpa perlindungan hukum yang jelas.
Jika melihat begini, tak berlebihan bila kutukan jelas layak dilayangkan kepada para pelaku percaloan. Namun tak perlu ditampik bayangan akan raja teganya dan putusnya urat kasihan di kalangan para calo penyalur tenaga kerja ke luar negeri yang tega memerosokkan sesama anak bangsa itu, berkelebat muncul. Sayangnya juga akan sia-sia belaka bila melihat perilaku tindak pidana perdagangan orang ini sebagai kejadian yang baru. Perilaku ini sudah mengakar lama dalam tubuh bangsa ini.
Adalah Susanti, yang menulis artikel berjudul Nasionalisme dan Gerakan Milih Njowo 1947 dan 1954 yang terbit dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 2 , 2016, hlm. 107-120. Ia menyebutkan, sebagian dari para pekerja suku Jawa yang berangkat ke Suriname ternyata korban penipuan bahkan penculikan. Mereka yang berangkat ke Suriname antara tahun 1890-1930an umumnya dari masyarakat Jawa yang hidup dalam garis kemiskinan yang diloby para werk/calo pencari tenaga kerja. Namun demikian, selain dengan cara dan mekanisme yang sesuai prosedur, dalam praktiknya ada juga beberapa dari orang Jawa yang dibohongi dan bahkan diculik, dan kemudian dikirimkan ke Suriname.
Seperti sebuah cerita detektif, penculikan dilakukan dengan cara betul-betul membohongi secara kasar pada awalnya, bahwa ada anggota keluarga yang ingin menemuinya. Namun tiba di suatu tempat ternyata ia dibius, dan ketika sadar, ia sudah berada di atas kapal yang membawa mereka ke Suriname. Tak ada peluang kembali saat itu.
Para werk menggunakan berbagai macam cara untuk dapat merekrut tenaga kerja dari Suku Jawa, karena untuk setiap tenaga kerja yang diperoleh mereka mendapatkan upah sebesar 80 sen per hari. Dengan liciknya, para werk menghembuskan isu bahwa mereka (para tenaga kerja Jawa) akan memperoleh upah sebesar 60 per hari. Upah itu lebih besar dua kali lipat dibandingkan dengan upah kerja di Jawa pada saat itu, yaitu sebesar 33 sen. Selain itu, mereka juga akan menerima seekor kerbau, alat-alat pertanian dan uang 100 sen setelah kontrak kerja selama lima tahun selesai. Isu-isu tersebut dihembuskan guna menarik orang Jawa yang pada saat itu hidup susah.
Seperti dugaan, isu yang dihembuskan werk ternyata berlainan dengan perjanjian kontrak yang sebenarnya. Hal ini baru diketahui oleh pekerja kontrak dari Jawa ketika mereka tiba di Suriname. Masih untung para pendatang dari Jawa yang dikenal Belanda rajin mengolah lahan ini disodori kontrak kerja setelah mereka tiba di Suriname. Mereka dijadikan pekerja kontrak selama lima tahun di bawah poenale sanctie.
Selama lima tahun tersebut setiap hari mereka harus bekerja selama tujuh jam di perkebunan, atau sepuluh jam di pabrik, dan untuk itu bagi pekerja laki-laki memperoleh upah banyak 40 sen sehari, sedangkan pekerja perempuan hanya memperoleh 30 sen sehari. Selain hak atas upah kerja, dalam perjanjian kontrak tersebut juga dijanjikan bahwa setelah lima tahun bekerja baik di perkebunan maupun di pabrik di Suriname, mereka memiliki hak untuk dapat kembali ke Pulau Jawa tanpa dipungut biaya atau dengan kata lain secara cuma-cuma.
Akan tetapi, bagi mereka yang belum ingin kembali ke Indonesia boleh memperpanjang masa kontraknya satu tahun lagi atau bekerja terus di Suriname sebagai buruh bebas. Lantas bagi mereka yang ingin tetap di Suriname (bersedia melepaskan haknya untuk pulang ke Pulau Jawa) akan mendapat uang sebesar 100 gulden Suriname untuk dipergunakan sebagai biaya hidup di Suriname dan mendapatkan peralatan yang dibutuhkan dalam pertanian dan tanah seluas dua hektar.
Apabila sekarang pemerintah hendak memberangus praktik percaloan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, penting juga file sejarah percaloan orang Jawa ke Suriname dibuka kembali. Tidak lain supaya dipahami juga aspek-aspek terjadinya praktik percaloan yang lain, termasuk problem psikologis para calo yang begitu tega membodohi sesamanya serta pada diri individu korban pembodohan sendiri. Ketika para calo bertobat, tentu sangat berarti bagi berhentinya praktik culas itu. Kemudian pada diri calon korban, bila mereka mengenali risiko dan keuntungan dari pilihan kerjanya ke luar negeri tanpa dokumen dan kualifikasi yang memadai. Bilamana calon korban memahami risikonya, maka dia tentu memilih pekerjaan formal saja di sana.
MN