Kenduri Rupa: Perayaan Seni yang Menyatukan Ragam Ekspresi di Kota Batu

"Seni yang baik adalah yang tidak hanya menghibur mata, tetapi juga menggugah rasa."
Pameran seni "Kenduri Rupa" di Batu, Jawa Timur, 21 hingga 27 April 2025 (dok. Istimewa)

Di tengah hawa sejuk Kota Batu, tergelar "Kenduri Rupa", pameran seni yang berlangsung di Balai Kota Among Tani dari 21 hingga 27 April 2025. Acara ini menjadi wadah bagi  seratusan perupa untuk memamerkan karya. Seperti namanya, pameran ini dihadirkan sebagai bentuk syukur dan kebersamaan, menyerupai tradisi kenduri dalam budaya Nusantara yang tak sekadar perjamuan, tetapi juga ruang untuk merayakan pertumbuhan dan kebersamaan.

Baca juga: Menghidupkan Kembali Warisan Literasi dan Budaya di Padepokan Sastra Mpu Tantular

Seni sebagai Bahasa Universal

"Kenduri Rupa" tidak dibatasi oleh tema tertentu, melainkan membuka ruang seluas-luasnya bagi beragam ekspresi artistik. Layaknya kenduri yang menghadirkan berbagai hidangan dari banyak dapur, pameran ini mempertemukan karya seniman dari berbagai generasi dan latar belakang. Mulai dari seniman senior yang telah lama berkarya, perupa profesional dengan pendekatan yang matang, hingga siswa SMP dan SMA yang baru merintis eksplorasi visual.

Pameran ini juga diniatkan sebagai cerminan ekosistem seni Kota Batu yang terus berkembang. Seperti tanaman yang tumbuh pelan namun pasti, seni rupa di kota ini menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang subur. Namun, di balik kemeriahannya, terselip pertanyaan penting: Apa sebenarnya yang ingin dirayakan? Apakah sekadar keberadaan karya, atau ada upaya lebih dalam untuk memahami arah perkembangan seni rupa lokal? Hal ini diungkapkan dalam catatan seni Vita Iga Anjani dan Anggun Setiawan.

Batu Art Collective: Wadah Baru untuk Ekosistem Kreatif

Pameran ini juga menandai kelahiran Batu Art Collective (BAC), sebuah komunitas seni yang bertujuan membangun ekosistem kreatif yang adaptif dan inklusif. BAC tidak hadir untuk menggantikan yang sudah ada, melainkan menjembatani warisan seni tradisional dengan semangat kontemporer.

BAC percaya bahwa seni tidak boleh hanya terkurung di galeri atau museum, tetapi harus hidup berdampingan dengan masyarakat. Oleh karena itu, selain menampilkan karya lukis dan instalasi, pameran ini juga melibatkan UMKM lokal dengan menampilkan kriya tangan. Hal ini memperlihatkan bahwa seni tidak hanya tentang keindahan visual, tetapi juga bisa menjadi penggerak ekonomi kreatif.

Seni sebagai Cermin Peradaban

"Kenduri Rupa" bukan sekadar ajang pamer karya, melainkan undangan untuk berdialog. Dalam tradisi kenduri, yang terpenting bukanlah banyaknya hidangan, melainkan kebersamaan dan percakapan yang terjalin. Begitu pula dengan pameran ini—ia mengajak pengunjung tidak hanya melihat, tetapi juga merenung: ke mana arah seni rupa Kota Batu?

Di tengah gemerlap acara, ada harapan agar seni tidak menjadi sekadar pelengkap seremoni, melainkan bagian dari denyut nadi kota. Seni harus mampu menjadi cermin yang jujur, tempat masyarakat belajar dari perbedaan, kritik, dan percakapan yang kadang tidak nyaman. Karena hanya dengan cara itulah ekosistem seni bisa tumbuh secara utuh.

Baca juga: H.A. Mudzakir, Santri dan Seniman Langka yang Pernah Dimiliki Jepara

Kota Batu: Tak Hanya Destinasi Wisata, Tapi Juga Poros Seni

Melalui "Kenduri Rupa", Kota Batu tidak hanya ingin dikenang sebagai destinasi wisata alam, tetapi juga sebagai pusat kesenian dan budaya di Jawa Timur. Pameran ini menjadi langkah awal dalam membangun citra baru—sebuah kota yang tidak hanya menawarkan keindahan panorama, tetapi juga kekayaan kreativitas.

Bagi para pengunjung, "Kenduri Rupa" adalah undangan untuk menikmati jamuan visual, meresapi setiap karya, dan pulang dengan pemahaman baru. Sebab, seperti kenduri sesungguhnya, yang terpenting bukanlah keramaiannya, melainkan kehangatan yang dibawa pulang—sesuatu yang mungkin tak terucap kata, tetapi terasa mendalam.

Latifah/Melipirnews.com

Latest
First

Komentar

Popular News

Ayam Lodho Trenggalek: Dari Ritual Sakral hingga Kuliner Legendaris

Seni, Bahasa, dan Dialog Antariman: Tiga Jalan Menuju Inklusivitas Beragama di Indonesia

Penjaja Soto Dikriminalisasi dan Sekaligus Dirindukan Kolonial

Menelusuri Jejak Sejarah Kota Malang Lewat Tur Jelajah Klodjian

Kembalinya Roxette Ke Pentas Musik Dunia

Pulau Terluar yang Dieksplorasi Anak Ekonomi

Kehidupan di Wilayah Perbatasan Tak Seindah Pos Perbatasan

Semarak Peringatan Hari Lansia Nasional 2025 di Hutan Malabar

Inovasi Museum yang Mengubah Cara Kita Belajar

Haji dalam Sastra Indonesia: Kisah Transformasi Jiwa dan Masyarakat

ARTIKEL FAVORIT PEMBACA

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

H.A. Mudzakir, Santri dan Seniman Langka yang Pernah Dimiliki Jepara

Rudy Chen Kenalkan Kemakmuran Muslim Shadian di Tiongkok

Melipir Mewarnai Gerabah di Museum Benteng Vredeburg

Judi Online Berlari Liar di Antara Pekerja Informal Hingga Anggota Dewan

Timun atau Melon Suri yang Selalu Beredar di Jabodetabek di Bulan Suci?

Menyusuri 125 Tahun Dedikasi Ursulin dalam Pendidikan di Malang

Antara Pariwisata dan Pelestarian: Dilema Borobudur dalam Perpres 101 Tahun 2024

Musik Gambus "Milik" Betawi Berunsur Kebudayaan Nusantara

Menelusuri Jejak Sejarah Kota Malang Lewat Tur Jelajah Klodjian

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.