Selain Irit, Pemudik Roda Dua Juga Bisa Jadi Duta Kampung Halamannya

Kepedulian atas manfaat besar moda transportasi roda dua untuk para pemudik rupanya menjadi perhatian pemerintah. Kementerian Perhubungan baru-baru ini melancarkan program mudik gratis sekalian angkut sepeda motor para pemudik dengan menggunakan kereta api. Idenya menarik tentu, mengingat aspirasi rakyat Indonesia yang ingin mudik dan tidak ribet terus juga irit, plus bisa mudah bermobilitas di kampung halaman, berbuah didengar oleh Kementerian Perhubungan. Bayangkan jika sampai di kampung halaman, tetapi tidak tersedia moda transportasinya, maka agenda kangen-kangenan dan silaturahmi para pemudik dengan teman, saudara serta Bapak-Ibu guru bisa terancam berantakan.

Ilustrasi pemudik bermotor

Walaupun kendaraan-kendaraan besar mengular selama waktu mudik di jalan-jalan bebas hambatan alias jalan tol, namun pasukan pemudik sesungguhnya adalah para pengendara sepeda motor yang menyesaki jalan-jalan kabupaten hingga jalan provinsi dan negara ini. Sengatan terik panas matahari tak dihiraukan. Begitupun dengan gempuran air hujan. Dari kota-kota besar, mereka menyebar layaknya lebah ke segala arah mata angin sesuai tujuannya masing-masing. Selain memenuhi jok motor dengan orang, kadang hingga lebih dari 2 orang, beberapa kardus dan tas pun ikut meramaikannya. Sungguh fenomena yang jarang terjadi di luar masa mudik.

Di rest area-rest area selama waktu mudik, biasanya mereka saling bertemu satu sama lain. Perbincangan hangat dan akrab pun terjadi. Seolah mereka sahabat lama saja, padahal barusan saja berjumpa. Dari hal-hal ringan hingga obrolan politik tak terhindarkan. Penat duduk di jok motor berjam-jam pun seakan terlepaskan.

Apalagi belakangan ini seiring semakin majunya teknologi yang terpasang di sepeda motor, naik sepeda motor menjadi semakin nyaman. Selain cubic centimeters (CC) dan body-nya sebagian semakin besar, kualitas roda pun juga ikutan terkerek. Jarang sekarang kendaraan roda dua mutakhir yang velg-nya tidak standar racing, lengkap dengan ban tubeless-nya. Semua semakin berkembang mengarah pada kenyamanan pengendara, bukan semata keselamatan pengendara. Sebuah lompatan yang luar biasa besar terjadi.

Tentu saja di jalan tidak ada pungutan jalan seperti lewat jalan tol. Bukan dalam arti tidak juga tidak memperhatikan yang lain, satu-satunya yang perlu diperhatikan secara seksama tidak lain ialah indikator BBM. Tidak lucu jika pemudik sampai mesin motor mogok gara-garanya lupa isi BBM. Jika terpaksa membatalkan puasa pun, mereka juga tidak perlu mampir di restoran-restoran mahal. Mereka cukup berhenti di warung kopi di pinggir jalan sepanjang jalan yang mereka lalui. Bahkan jika beruntung, mereka bisa memejamkan mata barang satu hingga dua jam untuk sekadar memulihkan energi sebelum kembali menyisir jalanan.

Sampailah di kampung halaman. Perjalanan seharian telah tertuntaskan untuk kembali ke udik, alias meng-udik (mudik). Kata yang pada awalnya terkonotasi kurang membahagiakan, belakangan telah berubah makna. Kini, kata mudik berubah total menjadi bermakna sakral. Mudik bisa bermakna kehormatan, bakti, reuni, sungkeman dan sebagainya. Pemudik tentu patut bangga.

Jika dikalkulasikan, berapa pengeluaran selama di perjalanan? Paling kelihatan sih hanya untuk ngopi sama isi BBM. Masih tersisa dana lumayan remittance tentunya untuk dibelanjakan di kampung halaman. Dengan berbelanja di kampung halaman, maka jelas-jelas pemudik lagi-lagi menjadi pahlawan perekonomian masyarakat di kampung halaman. Bukan hanya itu, sebaliknya sekembalinya ke kota selepas arus balik, mereka bisa menjadi duta-duta masing-masing di kota bagi kampung halamannya, sehingga keberadaannya sebagai perantau dapat dimaksimalkan. Sisi kuliner seperti paling memungkinkan untuk dieksplorasi sehingga terjadilah pertukaran budaya antar anak bangsa lewat kuliner.

Tips lainnya yang satu ini perlu dicoba juga. Di tengah mudahnya mengakses barang-barang luks dan glamor, masyarakat di kampung halaman tentu bukanlah tidak mengenal barang-barang branded. Mereka paham dan tentu tidak ingin hanya jadi penonton para sosialita yang kebetulan juga di saat yang sama menyaru sebagai pemudik. Maka, bilamana mudik kesan pamer dan sosialita layaklah dihindari.

MN


Baca Juga

Komentar

Buku Baru: Panduan Praktis Penelitian Sosial-Humaniora

Berpeluh Berselaras; Buddhis-Muslim Meniti Harmoni

Verity or Illusion?: Interfaith Dialogue Between Christian and Muslim in the Philippines

IKLAN ANDA

IKLAN ANDA

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis.Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis.