The Gading Archive: Sebuah Perjalanan Rasa dan Kenangan di Kelapa Gading

Di antara gemerlap pusat perbelanjaan modern dan gedung-gedung tinggi Kelapa Gading, tersembunyi cerita-cerita manis yang telah mengendap puluhan tahun dalam setiap gigitan kuliner legendarisnya

The Gading Archive hadir seperti mesin waktu yang membawa kita menyusuri lorong-lorong kenangan. Setiap sendok, toples, pisau tua, kursi, penggorengan, tungku, gerobak, dan foto-foto yang mulai menguning bercerita tentang dedikasi dan cinta tak lekang waktu.

Dok. Latifah/Melipirnews

Bayangkan berdiri di depan cetakan puding tua milik Pudding Christy - benda sederhana yang menjadi saksi bisu ribuan puding lembut yang telah menghangatkan perayaan keluarga dan pertemuan antargenerasi. Atau pisau besar pemotong martabak milik keluarga Bong Siglen, yang menyimpan kisah pilu perantauan dari Bangka dengan segala perjuangan hidupnya. 


Oore Bong Siglen, anak ketiga dari tujuh bersaudara merantau dari Bangka ke Jakarta dengan menempuh perjalanan 17 hari dan menjalani berbagai pekerjaan untuk bertahan hidup dari restoran, toko pecah belah, hingga berjualan ikan asin. Benda-benda ini bukan sekadar pajangan, melainkan simbol ketekunan yang telah mengubah remah-remah kehidupan menjadi warisan rasa yang abadi.
 
The Gading Archive dengan cermat membagi petualangan kuliner ini dalam dua babak. Babak pertama membawa kita menyusuri jalan-jalan kenangan dengan kuliner legendaris yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Kelapa Gading. Foto-foto lawas Gading Food City yang dipamerkan seolah membisikkan tawa riuh dan percakapan hangat yang pernah memenuhi ruang itu puluhan tahun silam. Sementara di babak kedua, kita diajak menemukan harta karun kuliner yang dengan setia bersemi di tanah Kelapa Gading - keaslian rasa mereka terikat erat pada setiap jengkal tanah dan udara di sini.

Melangkah lebih dalam ke ruang pameran, pengunjung akan menemukan lebih dari sekadar pajangan. Dinding-dinding yang dipenuhi menu-menu kuno bercerita tentang selera yang bertahan melawan zaman. Layar-layar video memperdengarkan suara para pelaku usaha tua ataupun pewarisnya yang matanya tetap berbinar ketika bercerita tentang riwayat kuliner turun-temurun. Sebuah peta petualangan kuliner menanti untuk dibawa pulang, mengundang kita melanjutkan eksplorasi rasa setelah meninggalkan pameran ini.

 
Yang paling menyentuh adalah bagaimana The Gading Archive berhasil menangkap esensi sebenarnya dari kuliner Kelapa Gading - bukan sekadar tentang makanan, melainkan tentang orang-orang di baliknya. Tentang ibu-ibu yang bangun subuh untuk mengaduk adonan, tentang bapak-bapak yang setia menjaga warung kecilnya selama puluhan tahun, tentang anak-anak yang kini meneruskan warisan keluarga dengan bangga. Mereka bukan sekadar penjual makanan, melainkan penjaga memori kolektif sebuah komunitas.
 
Bagi yang pernah menghabiskan masa kecil atau remaja di Kelapa Gading, pameran ini akan terasa seperti pulang ke rumah. Setiap sudutnya mengundang nostalgia akan Sabtu pagi di kedai bakmi favorit, kencan pertama di warung es, atau diskusi penting keluarga sambil menikmati martabak legendaris. Sementara bagi pendatang baru, ini adalah pintu masuk untuk memahami jiwa sebenarnya dari Kelapa Gading - tempat setiap rasa menyimpan cerita, dan setiap cerita pantas untuk dilestarikan.

Dok. Latifah/Melipirnews 

The Gading Archive bukan sekadar pameran kuliner biasa. Ini adalah surat cinta untuk Kelapa Gading, sebuah penghormatan untuk para penjaga rasa, dan undangan terbuka untuk kita semua menjadi bagian dari kelangsungan cerita-cerita indah ini. 

Sampai akhir Juni nanti, Gafoy Summarecon Mall Kelapa Gading menjadi tempat berpadunya masa lalu dan sekarang. Setiap pengunjung bisa membawa pulang kenangan akan rasa sekaligus apresiasi mendalam untuk warisan kuliner yang hidup dan bernapas bersama denyut nadi komunitasnya.
 
Latifah/Melipirnews.com
Latest
First

Komentar

Popular News

Ayam Lodho Trenggalek: Dari Ritual Sakral hingga Kuliner Legendaris

Seni, Bahasa, dan Dialog Antariman: Tiga Jalan Menuju Inklusivitas Beragama di Indonesia

Penjaja Soto Dikriminalisasi dan Sekaligus Dirindukan Kolonial

Menelusuri Jejak Sejarah Kota Malang Lewat Tur Jelajah Klodjian

Kembalinya Roxette Ke Pentas Musik Dunia

Pulau Terluar yang Dieksplorasi Anak Ekonomi

Kehidupan di Wilayah Perbatasan Tak Seindah Pos Perbatasan

Semarak Peringatan Hari Lansia Nasional 2025 di Hutan Malabar

Haji dalam Sastra Indonesia: Kisah Transformasi Jiwa dan Masyarakat

Inovasi Museum yang Mengubah Cara Kita Belajar

ARTIKEL FAVORIT PEMBACA

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

H.A. Mudzakir, Santri dan Seniman Langka yang Pernah Dimiliki Jepara

Rudy Chen Kenalkan Kemakmuran Muslim Shadian di Tiongkok

Melipir Mewarnai Gerabah di Museum Benteng Vredeburg

Judi Online Berlari Liar di Antara Pekerja Informal Hingga Anggota Dewan

Timun atau Melon Suri yang Selalu Beredar di Jabodetabek di Bulan Suci?

Menyusuri 125 Tahun Dedikasi Ursulin dalam Pendidikan di Malang

Antara Pariwisata dan Pelestarian: Dilema Borobudur dalam Perpres 101 Tahun 2024

Musik Gambus "Milik" Betawi Berunsur Kebudayaan Nusantara

Menelusuri Jejak Sejarah Kota Malang Lewat Tur Jelajah Klodjian

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.