Wayang Topeng Menak Malangan yang terakhir dipentaskan utuh pada 1970-an akhirnya kembali menyapa publik
Sebuah ikhtiar epik untuk menghidupkan kembali mahakarya yang nyaris punah terselenggara di Pesantren Budaya Karanggenting, Sabtu (9/8/2025). Melalui pagelaran “Burak Bawana Menak”, Wayang Topeng Menak Malangan yang terakhir dipentaskan utuh pada 1970-an akhirnya kembali menyapa publik. Ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan sebuah deklarasi kebangkitan budaya yang melibatkan gotong royong lintas generasi dan pihak.
![]() |
Penampilan Topeng Malangan |
Udara malam di Pesantren Budaya Karanggenting, Lowokwaru, Malang, Sabtu (9/8/2025), terasa berbeda. Di antara semilir angin perkebunan jeruk itu, ada denyut nadi kebudayaan yang lama terpendam, bersiap untuk kembali berdetak. Malam itu menjadi sebuah ikhtiar kolektif, sebuah upaya epik untuk menyelamatkan sebuah mahakarya yang nyaris terkubur zaman: Wayang Topeng Menak Malangan.
Baca juga: Topeng Malangan "Panji Mangu" Menolak Usang
Acara bertajuk “Burak Bawana Menak” ini digelar atas sinergi apik antara Lesbumi PCNU Kota Malang dan para pegiat seni Wayang Topeng Malang Raya. Agenda dimulai dengan berziarah. Sebuah penghormatan yang dalam kepada para leluhur dan maestro dalang yang telah menopang hidup kesenian ini di masa silam. Mereka berziarah, mencari berkah dan restu dari yang telah pergi, untuk kemudian menyalakan obor bagi yang hidup.
Sejarawan terkemuka M. Dwi Cahyono, dalam orasi budayanya menyebut pementasan malam itu sebagai tahap “embrional”. Sebuah kelahiran kembali yang masih sangat awal untuk sebuah bentuk seni yang terakhir kali dipentaskan secara utuh pada awal 1970-an oleh Sanggar Topeng Kopral. Bayangkan, lebih dari setengah abad seni ini menghilang dari panggung kebudayaan Malang Raya, hanya menyisakan cerita dan kenangan samar.
“Tidak mudah untuk melakukan penelisikan wayang topeng Malang karena sistem pertunjukan yang melibatkan sistem seni kolektif,” ujar Dwi Cahyono, yang menggambarkan betapa rumitnya upaya rekonstruksi ini.
Tim Lesbumi Malang telah melakukan penelusuran jauh sebelum pandemi, sebuah perburuan terhadap fragmen-fragmen memori yang berserakan untuk disatukan kembali.
Puncak acara adalah pagelaran Wayang Topeng Menak dengan lakon “Wong Agung Menak Jumeneng Ratu Mekah”, yang diinspirasi dari lakon lama “Menak Lare”. Di panggung, terlihat jelas perpaduan unik unsur Jawa dan Arab dalam mahkota dan busana para penari, cermin dari akulturasi budaya yang terjadi ratusan tahun lalu.
Salah satu mahkota yang menjadi puspa pesona adalah yang dikenakan oleh karakter Jemblung Marmoyo-Marmadi, sebuah mahkota yang bukan hanya perhiasan, melainkan simbol dari kompleksitas sejarah yang dibawanya.
Kehadiran Dr. Restu Gunawan, Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi Kementerian Kebudayaan RI, memberikan sinyal kuat tentang pentingnya acara ini. Beliau menegaskan perlunya perubahan paradigma. “Paradigma bahwa kebudayaan adalah the cost (biaya) harus diubah. Seni bukan the cost melainkan investasi.” Sebuah karya seni menawarkan nilai investasi melalui potensi kenaikan nilai, diversifikasi aset, dan kontribusinya terhadap warisan budaya. Di samping itu, seni juga menghadirkan kepuasan emosional dan intelektual yang tak ternilai. Restu meminta jaringan Lesbumi yang luas hingga ke akar rumput untuk terus memperkuat kolaborasi, menggali kekayaan budaya, mendokumentasikannya, hingga suatu saat dapat mengusulkannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda.
Baca juga: Alih Naskah Pecenongan, Jakarta ke Panggung Imajinasi Lagu dan Komik
Sementara itu, Ketua Lesbumi PBNU, KH. M. Jadul Maula, membawa audiens menyelami narasi besar di balik Wayang Menak. Kisahnya berawal dari Persia pada masa Harun Ar-Rasyid, kemudian berlayar ke Nusantara, diadaptasi menjadi Hikayat Amir Hamzah dalam bahasa Melayu. “Para ulama membangun strategi kebudayaan, mengembangkan narasi peradaban untuk menjaga kedaulatan dan semangat menyebarkan agama,” paparnya.
Di Malang, kreativitas lokal mengubah Serat Menak menjadi Wayang Topeng Menak, sebuah strategi dakwah yang cerdas dan berdaya jangkau luas. Yang menarik, KH. Jadul Maula menekankan bahwa seni tradisi haruslah hidup dan menjawab tantangan zamannya. “Dari cerita besar Menak, bisa lahir cerita-cerita carangan yang membahas masalah kekinian, seperti anak-anak yang ‘mager’ atau terpapar ‘game online’ dan ‘judol’,” ujarnya, menyentil persoalan kontemporer dengan ringan namun mendalam. Sebuah kritik satire tentang masalah pajak yang pintar pun terselip dalam pagelaran Wayang Topeng Menak malam itu. Para hadirin menyambutnya dengan gelak tawa dan tepuk tangan meriah, menyambung hangatnya hubungan antara panggung dan penonton.
Malam itu, di pelataran Pesantren Budaya Karanggenting, para seniman lintas sanggar dari Malang Raya bersatu. Mereka bukan hanya menampilkan seni, tetapi sedang melakukan upaya penyelamatan. Seperti menggali sebuah kapal kuno yang nyaris karam dari dasar laut, membersihkannya perlahan, dan berusaha mengapungkannya kembali. Pementasan ini belum final. Masih perlu eksplorasi, eksperimen, dan uji pentas berulang kali.
Namun, semangat “Topeng Malang Menolak Punah” telah terpatri. Modal terbesarnya terletak pada gotong royong budaya lintas pihak dan rasa ‘ngeman’ (sayang) yang mendalam terhadap khazanah tradisional. Mereka hadir bukanlah untuk sekadar mengenang, tujuan mereka adalah untuk memastikan bahwa mahkota Wayang Topeng Menak lebih dari sekadar gambar usang dalam buku sejarah; ia harus dapat dikenakan, ditarikan, dan disaksikan secara hidup oleh generasi sekarang maupun yang akan datang.
Komentar
Posting Komentar