Lain halnya cerita komedi daerah sekarang, uang ternyata mampu menemani kelucuan akting para pemain di adegan cerita komedi yang diangkat dari kehidupan sehari-hari
Lembaran uang kertas 100 ribuan dan 50 ribuan rupiah berseliweran di kanal Youtube belakangan ini hampir dapat dibilang sudah lumrah, khususnya di cerita komedi lokal. Lembar demi lembar warna biru dan merah itu mampu menambah bobot kelucuan akting siaran komedi. Keterlibatan uang ini kini marak di tayangan-tayangan cerita komedi yang bersumber dari cerita sehari-hari di tingkat lokal dengan jumlah penonton yang mencapai angka fantastis, ratusan ribu hingga jutaan pasang mata.
Beda halnya dengan siaran komedi nasional yang sepertinya belum banyak ditingkahi dengan tayangan lucu seputar pergerakan dan permainan uang-uang itu. Bagi tayangan komedi nasional, mungkin menghambur-hamburkan uang lembaran kertas itu masih dianggap tabu, sehingga komedian-komedian di televisi nasional sangat jarang mempertontonkan uang kertas dalam cerita komedinya. Jika masih ingat dulu ada tayangan di cerita lawakan sedang bagi-bagi uang kertas dalam jumlah banyak, maka uang yang dibagi itu tetap tergenggam di tangan kiri, sementara tangan kanan seolah membagi-bagikan uang kepada lawan mainnya. Tawa pun pecah.
Lain halnya cerita komedi daerah sekarang, uang ternyata mampu menemani kelucuan akting para pemain di adegan cerita komedi yang diangkat dari kehidupan sehari-hari. Serial komedi yang diunggah oleh Woko Channel misalnya, kerap mempertontonkan segepok uang yang dijadikan entah bayaran buruh tani harian, atau hutang piutang di antara warga desa yang diangkat dalam cerita di kanal You Tube itu. Sesekali ditingkahi dengan aksi tipu-tipu dengan mengakali uang milik lawan mainnya untuk kepentingan lain.
Satu adegan misalnya berkisah tentang seorang Pak Ndut yang mengakali uang hasil gadai sertifikat tanah milik bosnya, Pak Nggalino, untuk acara buka bersama yang dihelat besar-besaran. Pak Ndut tiba-tiba menjadi tuan rumah dan mengundang masyarakat sekitarnya untuk acara buka bersama. Bahkan, Nggalino sendiri yang adalah bosnya Ndut, heran mengapa dirinya diundang Ndut di acara buka bersama di sebuah restoran mewah, yang sungguh sulit dibayangkan Nggalino, Ndut mampu mengadakan acara buka bersama. Uang dari mana? Gumam Nggalino.
Ternyata esoknya ketahuan, bahwa uang yang dipakai untuk membiayai buka bersama kemarinnya itu merupakan uang hasil gadai sertifikat tanah milik Nggalino yang dipercayakan kepada Ndut. Ndut pun kemudian dimarahi habis-habisan oleh Nggalino. Namun, dalam episode cerita selanjutnya, dengan gentle Ndut mengembalikan segepok uang bosnya yang dipakai untuk mengundang buka bersama itu. Sebuah pemandangan yang bikin trenyuh.
Cerita Kaboax yang berlatar masyarakat biasa di Kupang juga memperlakukan uang dengan hampir mirip. Dalam channel Kaboax itu, Pak RT misalnya, dikisahkan sama-sama nasibnya seperti Nggalino di Woko Channel, tanpa istri di rumah yang sedang bekerja di luar negeri, juga kerap membagi-bagikan uang kepada warganya yang disimpan dalam lipatan sarungnya. Bagi sebagian besar masyarakat NTT, sarung merupakan pakaian sehari-hari dan menyimpan uang dalam lipatan sarung pun bukan pemandangan aneh. Lalu anak mahasiswa perantauan yang tidak selesai-selesai seperti Naris, pemuda pengojek seperti Bosan dan pria tanggung yang sedang terjerat hutang belis (mahar) kepada mertuanya, Om Ben, kerap menerima lembaran-lembaran uang dari Pak RT mereka yang tersimpan dalam lipatan sarung Pak RT-nya. Bahkan mereka menyebut sarung Pak RT seperti mesin ATM bagi mereka manakala kesulitan keuangan dan terlilit hutang di warung milik seorang paman, mungkin saja orang dari Makassar.
Sepertinya memang semua cerita itu mengarah pada cerita satire, sindiran, bahwa orang kecil yang hidupnya terbatas di lingkup desa dengan bertani, berdagang dan aneka pekerjaan yang tersedia di kawasan terbatas desanya, sehari-harinya sebenarnya tidak semudah seperti dalam tayangan komedi itu dalam mengikuti perputaran uang sekaligus mengkapitalisasikannya. Realitasnya mencari uang segepok begitu amat sulit di desa, namun hidup desa sebenarnya bukan melulu soal uang.
Salah satu film lawas yang berlatar belakang masyarakat pedesaan China yang berjudul, Ermo, yang dirilis tahun 1994, merupakan film satir atas menguatnya konsumerisme dan kapitalisme a la Barat yang mulai tumbuh pesat di China saat itu. Ermo, seorang perempuan dari sebuah desa di China, bekerja sekuat tenaga untuk bisa membeli satu set televisi besar, gara-gara terobsesi tetangganya yang mampu membeli tv yang sering ditontonnya. Untuk mewujudkan ambisinya, Ermo meninggalkan pekerjaannya di kampung dan pergi ke kota dengan meninggalkan suami dan anak-anaknya. Untuk mendapatkan impiannya itu, bahkan ia harus rela mengorbankan kesehatan dirinya serta hubungan dengan keluarganya.
MN
Sumber: Twitter |
Beda halnya dengan siaran komedi nasional yang sepertinya belum banyak ditingkahi dengan tayangan lucu seputar pergerakan dan permainan uang-uang itu. Bagi tayangan komedi nasional, mungkin menghambur-hamburkan uang lembaran kertas itu masih dianggap tabu, sehingga komedian-komedian di televisi nasional sangat jarang mempertontonkan uang kertas dalam cerita komedinya. Jika masih ingat dulu ada tayangan di cerita lawakan sedang bagi-bagi uang kertas dalam jumlah banyak, maka uang yang dibagi itu tetap tergenggam di tangan kiri, sementara tangan kanan seolah membagi-bagikan uang kepada lawan mainnya. Tawa pun pecah.
Lain halnya cerita komedi daerah sekarang, uang ternyata mampu menemani kelucuan akting para pemain di adegan cerita komedi yang diangkat dari kehidupan sehari-hari. Serial komedi yang diunggah oleh Woko Channel misalnya, kerap mempertontonkan segepok uang yang dijadikan entah bayaran buruh tani harian, atau hutang piutang di antara warga desa yang diangkat dalam cerita di kanal You Tube itu. Sesekali ditingkahi dengan aksi tipu-tipu dengan mengakali uang milik lawan mainnya untuk kepentingan lain.
Satu adegan misalnya berkisah tentang seorang Pak Ndut yang mengakali uang hasil gadai sertifikat tanah milik bosnya, Pak Nggalino, untuk acara buka bersama yang dihelat besar-besaran. Pak Ndut tiba-tiba menjadi tuan rumah dan mengundang masyarakat sekitarnya untuk acara buka bersama. Bahkan, Nggalino sendiri yang adalah bosnya Ndut, heran mengapa dirinya diundang Ndut di acara buka bersama di sebuah restoran mewah, yang sungguh sulit dibayangkan Nggalino, Ndut mampu mengadakan acara buka bersama. Uang dari mana? Gumam Nggalino.
Ternyata esoknya ketahuan, bahwa uang yang dipakai untuk membiayai buka bersama kemarinnya itu merupakan uang hasil gadai sertifikat tanah milik Nggalino yang dipercayakan kepada Ndut. Ndut pun kemudian dimarahi habis-habisan oleh Nggalino. Namun, dalam episode cerita selanjutnya, dengan gentle Ndut mengembalikan segepok uang bosnya yang dipakai untuk mengundang buka bersama itu. Sebuah pemandangan yang bikin trenyuh.
Cerita Kaboax yang berlatar masyarakat biasa di Kupang juga memperlakukan uang dengan hampir mirip. Dalam channel Kaboax itu, Pak RT misalnya, dikisahkan sama-sama nasibnya seperti Nggalino di Woko Channel, tanpa istri di rumah yang sedang bekerja di luar negeri, juga kerap membagi-bagikan uang kepada warganya yang disimpan dalam lipatan sarungnya. Bagi sebagian besar masyarakat NTT, sarung merupakan pakaian sehari-hari dan menyimpan uang dalam lipatan sarung pun bukan pemandangan aneh. Lalu anak mahasiswa perantauan yang tidak selesai-selesai seperti Naris, pemuda pengojek seperti Bosan dan pria tanggung yang sedang terjerat hutang belis (mahar) kepada mertuanya, Om Ben, kerap menerima lembaran-lembaran uang dari Pak RT mereka yang tersimpan dalam lipatan sarung Pak RT-nya. Bahkan mereka menyebut sarung Pak RT seperti mesin ATM bagi mereka manakala kesulitan keuangan dan terlilit hutang di warung milik seorang paman, mungkin saja orang dari Makassar.
Sepertinya memang semua cerita itu mengarah pada cerita satire, sindiran, bahwa orang kecil yang hidupnya terbatas di lingkup desa dengan bertani, berdagang dan aneka pekerjaan yang tersedia di kawasan terbatas desanya, sehari-harinya sebenarnya tidak semudah seperti dalam tayangan komedi itu dalam mengikuti perputaran uang sekaligus mengkapitalisasikannya. Realitasnya mencari uang segepok begitu amat sulit di desa, namun hidup desa sebenarnya bukan melulu soal uang.
Salah satu film lawas yang berlatar belakang masyarakat pedesaan China yang berjudul, Ermo, yang dirilis tahun 1994, merupakan film satir atas menguatnya konsumerisme dan kapitalisme a la Barat yang mulai tumbuh pesat di China saat itu. Ermo, seorang perempuan dari sebuah desa di China, bekerja sekuat tenaga untuk bisa membeli satu set televisi besar, gara-gara terobsesi tetangganya yang mampu membeli tv yang sering ditontonnya. Untuk mewujudkan ambisinya, Ermo meninggalkan pekerjaannya di kampung dan pergi ke kota dengan meninggalkan suami dan anak-anaknya. Untuk mendapatkan impiannya itu, bahkan ia harus rela mengorbankan kesehatan dirinya serta hubungan dengan keluarganya.
Realitasnya mencari uang segepok begitu amat sulit di desa, namun hidup desa sebenarnya bukan melulu soal uangJika dikaitkan dengan tayangan Woko Channel maupun Kaboax, maka konsumerisme dan kapitalisme yang hadir di desa itu disindir dengan gaya yang sama sekali jauh dari kesan kemewahan. Di Woko Channel, seringkali para pemainnya malah tampil dengan menjiwai sebagai orang-orang desa, buka baju bertelanjang dada bukan hal yang asing seperti dipertontonkan Mukidi, Ndut maupun Penyok, juga tidak lupa sosok Senthun yang bekerja sebagai petugas bank titil, alias rentenir desa dengan nasabahnya kebanyakan para perempuan desa. Pun juga, ketika Nggalino punya mobil baru juga dikisahkan Nggalino tidak bisa pergi ke mana-mana justru karena belum bisa menyetir mobil. Di situ, konsumerisme dan kapitalisme terjadi, namun malah jadi bahan kelucuan sekaligus sindiran terhadap lembaran-lembaran uang yang menjadi buruan para kapitalis yang tidak lagi tinggal di desa.
MN