Pelajaran dari Lamongan dalam Mencegah Kekerasan Ekstrim

Pada Kamis, 12 Desember 2024, Working Group on Women Preventing Countering Violent Extremism (WGWC)  dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Indonesia menggelar konferensi bertajuk Empowering Women, Securing Peace: Lessons from Indonesia in Preventing Violent Extremism secara hybrid.

Seperti jamaknya, topik tentang terorisme selalu mengundang perhatian banyak pihak dibuktikan banyaknya peserta yang terlibat.



Salah satu sesi yang menarik perhatian adalah sesi yang menampilkan Yeni Lutfiana, perwakilan AMAN Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, Yeni membahas praktik baik di Lamongan dalam membangun integrasi sosial, khususnya melalui pendekatan dialog reflektif. Yeni cukup lama melakukan penelitian tentang integrasi sosial masyarakat yang terduga terlibat jaringan terorisme dengan masyarakat umum yang tinggal di sekitarnya.

 

Lamongan: Sebuah Pelajaran tentang Kewaspadaan

Sejak peristiwa Bom Bali I, Lamongan telah menjadi sorotan pemerintah sebagai daerah yang rentan terhadap ekstremisme berbasis kekerasan. Ancaman tersebut semakin nyata pasca-Bom Surabaya 2018, yang membuat Provinsi Jawa Timur meningkatkan kewaspadaan terhadap keberadaan kelompok ekstremis, serta kepulangan deportan dari luar negeri dan mantan narapidana terorisme (napiter). Terdapat 700-an napi terorisme yang mendekam di berbagai lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia.


Baca juga: Masalah Penolakan Beribadah yang Kerap Terjadi Tahun Ini


Di Desa Kandangsemangkon, Paciran, Lamongan, Jawa Timur, salah satu keluarga pernah berupaya ke Suriah, sementara seorang perempuan dan bayinya dideportasi dari Turki karena terindikasi hendak memasuki wilayah konflik. Setelah gagal memasuki Suriah, keluarga ini dipulangkan ke Indonesia. Sesampainya di tanah air, tidak banyak pilihan selain kembali ke kampung halaman. Sulit dibayangkan seperti apa masyarakat sekitar menerima kepulangan mereka sebab pada diri mereka telah tersematkan sebagai keluarga yang dianggap mengkhawatirkan. Menghadapi situasi ini, reintegrasi sosial menjadi upaya penting untuk membangun kembali kepercayaan dan harmoni masyarakat.


Reflective Structure Dialogue (RSD): Membangun Empati


Bagaimana integrasi sosial dilakukan? Yeni menjelaskan bahwa pendekatan Reflective Structure Dialogue (RSD) digunakan untuk memfasilitasi dialog yang melibatkan pengalaman dan nilai-nilai personal para peserta. Metode ini mengutamakan proses berpikir, menulis dan berbicara (think, write, and speak), yang memberikan waktu bagi setiap individu untuk merenung sebelum berbicara.

"RSD mempertemukan hati dan pikiran," ujar Yeni. Pendekatan ini berhasil melibatkan 104 peserta dari berbagai latar belakang, termasuk kelompok perempuan, anak muda, pemerintah desa hingga kabupaten, keluarga deportan, dan pemangku kepentingan lokal.


Narasi Bermakna dan Penguatan Kohesi Sosial

Hasil dari proses dialog ini sangat menginspirasi. Beberapa peserta mengungkapkan pandangan yang memperlihatkan perubahan sikap dan peningkatan empati. Salah satu narasi yang muncul adalah, "Saya siap menerima mantan teroris, karena saya percaya setiap orang bisa melakukan kesalahan, tetapi selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri."

Selain itu, dialog ini juga memperkuat kohesi sosial. Perempuan dari berbagai komunitas, seperti Aisyiyah, mengambil peran penting dalam mendorong kolaborasi dan kegiatan bersama. Keterlibatan perempuan dalam proses reintegrasi sosial tidak hanya membantu mengelola program, tetapi juga membangun kepercayaan publik dan menciptakan ruang dialog informal.


Solusi dan Harapan


Konferensi ini menyoroti pentingnya mendokumentasikan kerja-kerja bermakna perempuan dalam pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan. Yeni menekankan perlunya mengangkat perempuan dengan karakter kepemimpinan yang kuat dan menciptakan ruang perjumpaan melalui tim tangguh.


Baca juga: Bincang Depok Hasil Survai Setara Habis Jumatan


Dengan pendekatan inovatif seperti RSD, diharapkan semakin banyak komunitas yang dapat memperkuat kohesi sosial dan mencegah ekstremisme berbasis kekerasan. Lamongan menjadi contoh nyata bagaimana perempuan dapat mengambil peran strategis dalam menjaga perdamaian dan menciptakan perubahan positif di masyarakat.


Penulis: Latifah

Baca Juga

Komentar

Popular Posts

Panda di Luar China Diberi Nama dan Fakta Lainnya

Nokia Tinggal Sejarah?

Kawasan Menteng Bergaya Eropa Jejak Peninggalan Kebijakan Daendals

Tantangan Etis untuk Media dalam Pemberitaan Femisida

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

Susah-Susah Gampang Bermitra dengan Agensi Iklan Digital

Ulah Ibrahim Sirkeci Turut Menggagalkan Kelulusan Cepat Bahlil

Ugahari dalam Seni Mengelola Alam ala Dayak Tenggalan

Rangkaian Harmusindo 2024: Dorong Museum Sebagai Destinasi Wisata dan Edukasi

Advertisements

ARTIKEL FAVORIT PEMBACA

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

Timun atau Melon Suri yang Selalu Beredar di Jabodetabek di Bulan Suci?

Judi Online Berlari Liar di Antara Pekerja Informal Hingga Anggota Dewan

Kontes Debat Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)

Perpaduan Budaya Penambah Eksotis Masjid Ridho Ilahi, Wilangan, Nganjuk

Bertaruh Cuan di Tengah Kemacetan Jalan Raya Sawangan

Kasih Bunda Tak Terkira; Ber-Solo Touring Demi Tengok Anaknya

Musik Gambus "Milik" Betawi Berunsur Kebudayaan Nusantara

Rangkaian Harmusindo 2024: Dorong Museum Sebagai Destinasi Wisata dan Edukasi

Jika Kaesang Bersedia dan Menang, Depok Ikuti Kota Lain Dipimpin Anak Pemimpin Ataupun Mantan Pemimpin Negeri

Advertisement

Buku Baru: Panduan Praktis Penelitian Sosial-Humaniora

Berpeluh Berselaras; Buddhis-Muslim Meniti Harmoni

Verity or Illusion?: Interfaith Dialogue Between Christian and Muslim in the Philippines

IKLAN ANDA

IKLAN ANDA

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.