Ibrahim Sirkeci, adalah seorang intelektual dan pebisnis biasa di Inggris. Namanya menjadi besar seiring dengan mencuatnya jurnal Kurdish Studies yang dikendalikannya. Ia mendirikan jurnal itu di tahun 2013 di bawah payung lembaga penerbitan yang didirikannya, Transnational Press dan berkantor di London.
Ilustrasi jurnal predator |
Jurnal ini menjadi berkembang dan dikenal luas di Eropa sebagai jurnal review sejawat dan kemudian mendapatkan pengakuan dari lembaga pengindeks Scopus. Ia menggantikan jurnal-jurnal sebelumnya dengan topik kajian hampir sama, kajian mengenai Kurdi dan timur tengah, antara lain misalnya International Journal of Kurdish Studies yang terbit tahun 1980an, Journal of Kurdish Studies, Studia Kurdica dan Etudes Kurdes yang terbit di tahun 1990an. Ketiga nama jurnal yang disebut belakangan ini diterbitkan di Paris. Jurnal-jurnal ini rata-rata berumur tidak lama.
Baca juga: Tawaran Social License to Operate Untuk Rempang
Salah satu nama besar yang dikenal luas oleh publik Indonesia di balik suksesnya jurnal Kurdish Studies tersebut ialah Martin van Bruinessen. Intelektual asal Belanda ini dikenal lebih dulu meneliti Islam di Turki sebelum akhirnya menginjakkan kakinya di Indonesia. Seperti diketahui, penelitiannya tentang gerakan tarekat di Indonesia, dirujuk banyak sarjana Indonesia. Di Kurdish Studies, Martin didapuk sebagai salah seorang reviewer.
Belum diketahui secara pasti kapan peristiwanya, tanpa sepengetahuan dan sepersetujuan dewan editornya, Sirkeci menjual jurnal Kurdish Studies kepada lembaga Intellectual Edge Research Publishing (IERP), kemudian berpindah ke Oxbridge Publishing. Paling baru pengelolaannya di bawah Society of History and Cultural Studies. Di sinilah awal dari kekisruhan terjadi.
Setelah jurnal tersebut diambil alih oleh IERP, godaan finansial ternyata lebih nyata ketimbang kualitas sebuah jurnal. Mendadak sontak, artikel-artikel yang tidak melalui review selayaknya pun dimasukkan ke dalam jurnal oleh pengelola baru ini, dan tentulah sejumlah biaya besar dibebankan kepada penulis. Modal penerbit membujuk calon-calon penulis tidak lain karena jurnal ini sudah terindeks Scopus saat masih dipegang Sirkeci. Spontan, tuduhan jurnal ini beralih menjadi jurnal predator pun bermunculan.
Bahlil Lahadalia, orang dekat Presiden Joko Widodo mengambil kuliah S3-nya di UI, tepatnya di Program Studi Sekolah Kajian Stratejik Global (SKSG) yang kampusnya terletak di Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Salah satu jurnal Bahlil ini ternyata dipublikasikan di Kurdish Studies, yang kemudian di-discontinued oleh lembaga pengindeks Scopus. Artikel Bahlil yang ditulis bersama tiga koleganya terbit di kanal jurnal ini volume 12 nomor 1 tahun 2024 dengan judul Nickel Down Streaming in Indonesia: Policy Implementation and Economic, Social, and Environmental Impacts.
Setelah tidak mendapatkan jawaban dari Sirkeci, Marlene Schäfers, Salah satu editor aslinya jurnal ini, sempat menulis surat terbuka yang mengecam penjualan jurnal yang turut dieditorinya itu tanpa sepengetahuan dirinya dan juga para koleganya editor yang lain. Mendapat komplaain semacam itu, sangat wajar bilamana pihak Scopus memutus indeksasi jurnal ini.
Baca juga: Rangkaian Harmusindo 2024: Dorong Museum Sebagai Destinasi Wisata dan Edukasi
Marlene, Martin dan para editor lainnya berupa terus agar jurnal ini dan arsip-arsipnya dapat diterbitkan, lepas dari kepemilikan pengelola baru. Akhirnya perjuangan mereka tidak sia-sia karena kemudian edisi lama mereka ditampung oleh penerbit BRILL dan juga edisi baru terpublikasi dengan penerbit kenamaan tersebut.
Adapun jurnal yang menampilkan karya Bahlil dan timnya ini sekarang tidak lagi berkantor pusat di London, melainkan di Hongkong di bawah bendera Society of History and Cultural Studies. Walaupun masih mencantumkan status quartil (Q) 2, namun di basis data Scopus tidak ditemukan lagi.
MN, dari berbagai sumber
Komentar
Posting Komentar