Siang itu udara sedikit panas. Namun ruang aula Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri (STABN) Sriwijaya, Tangerang, Banten tetap terasa dingin diiringi semilir angin dari mesin pengondisi udara. Suasana adem itu tidak seratus persen nyaman sebenarnya karena para mahasiswa baru diajak menyelami realitas plural masyarakat Indonesia. Tampak wajah-wajah penasaran dibalut kebingungan sekaligus melawan rasa kantuk juga dari generasi muda ini, Minggu siang, 27 Agustus 2023 itu, manakala menginjak paparan materi terkait moderasi beragama.
Edi Ramawijaya Putra, Wakil Ketua I Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga STABN Sriwijaya yang mengantarkan sesi siang itu menyatakan pentingnya mahasiswa STABN Sriwijaya memiliki sikap moderat dalam beragama. Ia mencontohkan dirinya yang bahkan mengambil studi masternya di Uhamka yang berafiliasi dengan ormas Islam Muhammadiyah. Bahkan dalam fase masa belajarnya, dirinya pernah belajar tajwid. Namun batinnya tidak tergoyahkan mengikuti ajaran Buddha Gautama. Disinggungnya juga pemateri sesi siang itu seorang Muslim yang memiliki pengalaman melakukan studi masyarakat Buddhis di Indonesia.
Demikianlah, pemateri di hadapan mahasiswa baru itu Moh Zaenal Abidin Eko Putro dari lembaga Pusat Studi Asia (Centre of Asian Studies/Cenas). Mahasiswa baru yang ternyata juga beragam itu, ditandai beberapa mahasiswi mengenakan jilbab, diajak menyelami pemikiran JS Furnivall tentang masyarakat plural yang dilihatnya di Jawa di tahun-tahun akhir penjajahan Belanda. Di mata Furnivall, masyarakat Dutch East Indies alias Hindia Belanda merupakan masyarakat yang terpisah berdasarkan ras, bahasa, budaya dan agama. Akan tetapi, satu-satunya pertemuan antara masyarakat berbeda yang terjadi berlangsung di pasar. Kondisi masyarakat plural yang demikian ini sangat rentan.
Konflik bernuansa agama mulai terjadi setelah Indonesia merdeka. Konflik yang bercirikan demikian lebih sering terjadi di era Orde Baru. Puncaknya terjadi di ujung kekuasaan Orde Baru dan berlanjut hingga Reformasi awal. Diperparah dengan masuknya paham radikal trans-nasional ke dalam negeri yang turut memicu terjadinya aksi-aksi terorisme di berbagai tempat.
Masyarakat plural yang hanya berjumpa di pasar, hanya urusan pekerjaan artinya dan buta terhadap budaya, agama, bahasa kelompok masyarakat lain yang berbeda, seperti amatan Furnivall di atas, justru berbahaya ketika demokrasi terbuka benar-benar dijalankan. Beruntung muncullah aktor-aktor dan lembaga yang bergerak pada dialog lintas agama sejak era Orde Baru yang prihatin dengan kondisi masyarakat plural namun tidak saling mengenal. Walaupun masih terjadi konflik dan kekerasan bernuansa agama, namun peran aktor-aktor di luar negara pantas diakui. Hingga akhirnya pemerintah mendirikan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di berbagai jenjang hingga tingkat daerah kabupaten/kota. Pendirian FKUB itu tertuang dalam PBM 9 & 8 Tahun 2006.
Dirasakan kurang kuatnya aturan tersebut untuk meredam eksklusivitas beragama, maka pada tahun 2017 mulai disusunlah naskah mengenai moderasi beragama oleh Kementerian Agama. Disusun pula empat indikator moderasi beragama yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, nirkekerasan, dan ramah budaya lokal.
Mahasiswa ternyata menyimak paparan materi itu dengan seksama. Beberapa di antara mahasiswa baru itu pun menyampaikan pertanyaan seperti Yudhistira, Indra, Btari, dan Amelia. Pada akhirnya dipahami bahwa moderasi beragama bukanlah capaian hasil, melainkan proses terus menerus yang layak disosialisasikan untuk mencapai kesadaran moderasi beragama di antara warga bangsa.
MN
Edi Ramawijaya Putra (kanan) dan Sugianto (tengah) sebagai moderator (melipirnews.com) |
Edi Ramawijaya Putra, Wakil Ketua I Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga STABN Sriwijaya yang mengantarkan sesi siang itu menyatakan pentingnya mahasiswa STABN Sriwijaya memiliki sikap moderat dalam beragama. Ia mencontohkan dirinya yang bahkan mengambil studi masternya di Uhamka yang berafiliasi dengan ormas Islam Muhammadiyah. Bahkan dalam fase masa belajarnya, dirinya pernah belajar tajwid. Namun batinnya tidak tergoyahkan mengikuti ajaran Buddha Gautama. Disinggungnya juga pemateri sesi siang itu seorang Muslim yang memiliki pengalaman melakukan studi masyarakat Buddhis di Indonesia.
Demikianlah, pemateri di hadapan mahasiswa baru itu Moh Zaenal Abidin Eko Putro dari lembaga Pusat Studi Asia (Centre of Asian Studies/Cenas). Mahasiswa baru yang ternyata juga beragam itu, ditandai beberapa mahasiswi mengenakan jilbab, diajak menyelami pemikiran JS Furnivall tentang masyarakat plural yang dilihatnya di Jawa di tahun-tahun akhir penjajahan Belanda. Di mata Furnivall, masyarakat Dutch East Indies alias Hindia Belanda merupakan masyarakat yang terpisah berdasarkan ras, bahasa, budaya dan agama. Akan tetapi, satu-satunya pertemuan antara masyarakat berbeda yang terjadi berlangsung di pasar. Kondisi masyarakat plural yang demikian ini sangat rentan.
Konflik bernuansa agama mulai terjadi setelah Indonesia merdeka. Konflik yang bercirikan demikian lebih sering terjadi di era Orde Baru. Puncaknya terjadi di ujung kekuasaan Orde Baru dan berlanjut hingga Reformasi awal. Diperparah dengan masuknya paham radikal trans-nasional ke dalam negeri yang turut memicu terjadinya aksi-aksi terorisme di berbagai tempat.
Masyarakat plural yang hanya berjumpa di pasar, hanya urusan pekerjaan artinya dan buta terhadap budaya, agama, bahasa kelompok masyarakat lain yang berbeda, seperti amatan Furnivall di atas, justru berbahaya ketika demokrasi terbuka benar-benar dijalankan. Beruntung muncullah aktor-aktor dan lembaga yang bergerak pada dialog lintas agama sejak era Orde Baru yang prihatin dengan kondisi masyarakat plural namun tidak saling mengenal. Walaupun masih terjadi konflik dan kekerasan bernuansa agama, namun peran aktor-aktor di luar negara pantas diakui. Hingga akhirnya pemerintah mendirikan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di berbagai jenjang hingga tingkat daerah kabupaten/kota. Pendirian FKUB itu tertuang dalam PBM 9 & 8 Tahun 2006.
Sesi tanya jawab (melipirnews.com) |
Dirasakan kurang kuatnya aturan tersebut untuk meredam eksklusivitas beragama, maka pada tahun 2017 mulai disusunlah naskah mengenai moderasi beragama oleh Kementerian Agama. Disusun pula empat indikator moderasi beragama yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, nirkekerasan, dan ramah budaya lokal.
Mahasiswa ternyata menyimak paparan materi itu dengan seksama. Beberapa di antara mahasiswa baru itu pun menyampaikan pertanyaan seperti Yudhistira, Indra, Btari, dan Amelia. Pada akhirnya dipahami bahwa moderasi beragama bukanlah capaian hasil, melainkan proses terus menerus yang layak disosialisasikan untuk mencapai kesadaran moderasi beragama di antara warga bangsa.
MN
Komentar
Posting Komentar