Di tikungan, perempatan, puteran balik dan di lokasi-lokasi tertentu lainnya, pengendara kendaraan di Jakarta dan sekitarnya pasti tidak asing dengan individu-individu tangguh yang disebut Pak Ogah. Kulitnya rela terbakar terik matahari seakan menjadikannya tak ubahnya pendekar debus yang tahan panas. Sosok unik yang dimunculkan pada serial boneka Si Unyil tempo dulu ini demikian melekat pada para pengatur jalan ini. Mereka bekerja ekstra keras di tengah padatnya kendaraan yang berbagi jatah untuk melintas dengan pengendara lain.
Tidak jarang di antara Pak Ogah ini ada juga Bu Ogah. Namun nasibnya kadang apes kena jail sopir-sopir truk material maupun ekspedisi yang ada saja tangannya celamitan. Sambil memberikan tip, tangannya menarik tangan Bu Ogah ini seperti seorang penyanyi dangdut di panggung yang tangannya ditarik penontonnya yang menyalaminya tepat di depan panggung. Namun tidak sedikit juga Pak Ogah yang tampil berwibawa, memadukan setelan bajunya semodis mungkin sehingga tampak sedikit perlente. Ada juga Pak Ogah-Pak Ogah yang malah jadi incaran pihak berwajib karena ada laporan mobil pengendara disayat Pak Ogah dengan benda tajam gegara tidak diberi uang tip.
Inilah sekelumit kehidupan kerja para pahlawan kemacetan di Ibu Kota dan sekitarnya. Mereka tidak memasang tarif tertentu untuk jasa mengatur kendaraan yang dipandunya. Berapapun mereka ikhlas menerima. Bilamana diamati, berapapun rupiah yang jatuh ke tangan mereka, segera saja mereka akan simpan baik-baik ke dalam saku celana atau minimal digenggamnya erat-erat karena hanya dalam hitungan detik saja, kendaraan selanjutnya akan melintas. Sungguh bahaya jika ia sempatkan melihat apalagi menghitung jumlah uang di genggaman tangannya jika tepat di depan mereka melintas kendaraan-kendaraan besar yang kadang tidak benar-benar mengurangi injakan pedal gasnya walaupun di tikungan, perempatan maupun di U Turn (puteran balik).
Jika ditanya, mengapa memilih pekerjaan yang sungguh mengandung risiko di jalanan ini, maka pastinya jawabannya karena tidak ada alternatif pekerjaan yang lain yang bisa mendatangkan penghasilan secara kontan selain menjadi Pak Ogah itu. Mungkin juga tidak tepat disebut penghasilan karena tentu uang yang didapat jumlahnya tidak pasti dan sangat tergantung dari berapa kendaraan yang memberikan tip. Oleh sebab itu jumlahnya naik turun. Musababnya juga karena tidak semua kendaraan memberikan tip. Apalagi tidak ada kewajiban juga memberikan tip, kecuali karena hanya kemurahhatian mereka kepada para Pak Ogah ini. Di sinilah, mereka ini satu penghuni dari sekian penghuni jenis pekerjaan informal yang bertahan di era kapital dan pembangunan yang sedang lari kencang saat ini.
Sebagai pekerja informal, tentu banyak catatan yang perlu dialamatkan kepada para Pak Ogah ini. Pekerja informal seperti mereka ini rawan terkena risiko penyakit mental alias stress bahkan hingga depresi. Tidak adanya jenjang karir, jam kerja yang tidak pasti, cara kerja yang monoton di bawah terik matahari, risiko akan tersenggol kendaraan serta tidak adanya tunjangan semacam dana kesehatan membuat mereka rawan terkena problem kesehatan mental. Bisa jadi juga bukan sekadar masalah kesehatan mental. Asap kendaraan yang mengandung emisi dan polutan juga berpotensi mereka ini menghirup udara yang tidak bersih. Dus, kesehatan fisik juga terancam. Terkait akan hal ini, Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rilisnya tahun 2014 mencatat terdapat 11.6–17.4 persen dari 150 populasi dewasa di Indonesia menderita kelainan emosi (emotional disorder) ataupun kesehatan mental dalam bentuknya stress karena kerja.
Walhasil, ada baiknya pihak-pihak yang tergugah untuk memperhatikan soal jaminan kesehatan mental dan fisik mereka ini. Jika dikatakan mereka berpenghasilan cukup besar dalam sehari -seperti para tukang parkir misalnya, dengan menerima tip dari pengendara, tentu besarannya pun mungkin tidak cukup juga untuk membayar iuran asuransi kesehatan nasional. Walaupun juga pendapatan mereka selalu bersih alias tidak pernah terkena potongan pajak. Kurang luasnya pandangan dalam menyiasati ekonomi keluarga mungkin juga menjadi kendala sehingga kondisi perekonomian keluarga mereka juga tidak mudah beranjak.
MN
Tidak jarang di antara Pak Ogah ini ada juga Bu Ogah. Namun nasibnya kadang apes kena jail sopir-sopir truk material maupun ekspedisi yang ada saja tangannya celamitan. Sambil memberikan tip, tangannya menarik tangan Bu Ogah ini seperti seorang penyanyi dangdut di panggung yang tangannya ditarik penontonnya yang menyalaminya tepat di depan panggung. Namun tidak sedikit juga Pak Ogah yang tampil berwibawa, memadukan setelan bajunya semodis mungkin sehingga tampak sedikit perlente. Ada juga Pak Ogah-Pak Ogah yang malah jadi incaran pihak berwajib karena ada laporan mobil pengendara disayat Pak Ogah dengan benda tajam gegara tidak diberi uang tip.
Inilah sekelumit kehidupan kerja para pahlawan kemacetan di Ibu Kota dan sekitarnya. Mereka tidak memasang tarif tertentu untuk jasa mengatur kendaraan yang dipandunya. Berapapun mereka ikhlas menerima. Bilamana diamati, berapapun rupiah yang jatuh ke tangan mereka, segera saja mereka akan simpan baik-baik ke dalam saku celana atau minimal digenggamnya erat-erat karena hanya dalam hitungan detik saja, kendaraan selanjutnya akan melintas. Sungguh bahaya jika ia sempatkan melihat apalagi menghitung jumlah uang di genggaman tangannya jika tepat di depan mereka melintas kendaraan-kendaraan besar yang kadang tidak benar-benar mengurangi injakan pedal gasnya walaupun di tikungan, perempatan maupun di U Turn (puteran balik).
Jika ditanya, mengapa memilih pekerjaan yang sungguh mengandung risiko di jalanan ini, maka pastinya jawabannya karena tidak ada alternatif pekerjaan yang lain yang bisa mendatangkan penghasilan secara kontan selain menjadi Pak Ogah itu. Mungkin juga tidak tepat disebut penghasilan karena tentu uang yang didapat jumlahnya tidak pasti dan sangat tergantung dari berapa kendaraan yang memberikan tip. Oleh sebab itu jumlahnya naik turun. Musababnya juga karena tidak semua kendaraan memberikan tip. Apalagi tidak ada kewajiban juga memberikan tip, kecuali karena hanya kemurahhatian mereka kepada para Pak Ogah ini. Di sinilah, mereka ini satu penghuni dari sekian penghuni jenis pekerjaan informal yang bertahan di era kapital dan pembangunan yang sedang lari kencang saat ini.
Sebagai pekerja informal, tentu banyak catatan yang perlu dialamatkan kepada para Pak Ogah ini. Pekerja informal seperti mereka ini rawan terkena risiko penyakit mental alias stress bahkan hingga depresi. Tidak adanya jenjang karir, jam kerja yang tidak pasti, cara kerja yang monoton di bawah terik matahari, risiko akan tersenggol kendaraan serta tidak adanya tunjangan semacam dana kesehatan membuat mereka rawan terkena problem kesehatan mental. Bisa jadi juga bukan sekadar masalah kesehatan mental. Asap kendaraan yang mengandung emisi dan polutan juga berpotensi mereka ini menghirup udara yang tidak bersih. Dus, kesehatan fisik juga terancam. Terkait akan hal ini, Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rilisnya tahun 2014 mencatat terdapat 11.6–17.4 persen dari 150 populasi dewasa di Indonesia menderita kelainan emosi (emotional disorder) ataupun kesehatan mental dalam bentuknya stress karena kerja.
Walhasil, ada baiknya pihak-pihak yang tergugah untuk memperhatikan soal jaminan kesehatan mental dan fisik mereka ini. Jika dikatakan mereka berpenghasilan cukup besar dalam sehari -seperti para tukang parkir misalnya, dengan menerima tip dari pengendara, tentu besarannya pun mungkin tidak cukup juga untuk membayar iuran asuransi kesehatan nasional. Walaupun juga pendapatan mereka selalu bersih alias tidak pernah terkena potongan pajak. Kurang luasnya pandangan dalam menyiasati ekonomi keluarga mungkin juga menjadi kendala sehingga kondisi perekonomian keluarga mereka juga tidak mudah beranjak.
MN
Komentar
Posting Komentar