Selain benteng Vredeburg, Yogyakarta juga masih memiliki beberapa museum lain
Salah satunya museum ini, museum Sonobudoyo. Letaknya berseberangan dengan alun-alun lor (Utara) keraton Yogyakarta.
![]() |
Dok. Melipirnews.com |
Begitu melewati pintu gerbang pemeriksaan dan masuk ke halaman dalam museum, pengunjung akan dimanjakan dengan pemandangan sejumlah arca batu, berjajar memanjang mengikuti arah dinding dalam pintu gerbang dan dinding luar museum. Arca-arca ini berasal dari peninggalan zaman Hindu-Budha sejalan dengan masa pembangunan candi-candi Hindu-Budha di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah.
Jika hari libur, biasanya di halaman museum ini ramai juga dengan pengunjung yang menyewa pakaian adat Jawa lengkap. Para juru foto juga turut sibuk mengabadikan para pengunjung yang menggunakan pakaian adat Jawa lengkap seperti itu.
Menurut sejarahnya, museum ini didirikan dengan diawali dari keberadaan Java Institute, sebuah organisasi yang beranggotakan orang-orang Eropa yang memiliki antusiasme terhadap kebudayaan Jawa. Berbekal koleksi dari berbagai wilayah di Jawa, Madura, Bali dan Lombok, Th. Karsten memprakarsai pendirian museum ini.
Pada 6 November 1935, Museum Sonobudoyo diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dengan sengkalan “Kayu Winayang Ing Brahmana Budha” yakni bertahun Jawa 1866. Letak persis museum berada di Jalan Trikora No. 6, tepatnya di pojok barat laut Alun-alun Utara Yogyakarta. Saat ini, pengelolaan di tangan Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menurut sejarahnya, museum ini didirikan dengan diawali dari keberadaan Java Institute, sebuah organisasi yang beranggotakan orang-orang Eropa yang memiliki antusiasme terhadap kebudayaan Jawa. Berbekal koleksi dari berbagai wilayah di Jawa, Madura, Bali dan Lombok, Th. Karsten memprakarsai pendirian museum ini.
Pada 6 November 1935, Museum Sonobudoyo diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dengan sengkalan “Kayu Winayang Ing Brahmana Budha” yakni bertahun Jawa 1866. Letak persis museum berada di Jalan Trikora No. 6, tepatnya di pojok barat laut Alun-alun Utara Yogyakarta. Saat ini, pengelolaan di tangan Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Museum ini mempunyai koleksi benda-benda budaya yang cukup lengkap. Sumartono, dalam artikelnya, Tata Kelola Ruang Museum Sonobudoyo dan Ruang Museum Radya Pustaka: Sebuah Perbandingan, menyebutkan dari hasil wawancaranya dengan petugas museum pada Jumat 20 Januari 2017, jumlah koleksi museum adalah 65 ribu benda dan yang dipamerkan adalah sejumlah 27 ribu benda.
Salah satu ruangan yang layak di-explore yakni ruang untuk memajang aneka perkakas dan atribut wayang. Ruang-ruang tersebut dinamai Ruang Wayang 1 dan Ruang wayang 2. Beberapa jenis wayang dipamerkan di dua ruang ini, tetapi yang paling memakan tempat adalah koleksi seperangkat lengkap wayang kulit gaya Yogyakarta. Wayang-wayang tersebut dipajang di dalam vitrin memanjang dan pada bagian tengahnya terdapat bentuk wayang gunungan atau kayon. Jenis wayang lain yang dipamerkan di dalam ruang wayang adalah wayang Gedhog, wayang wali, wayang Dupara, wayang Kancil, dan wayang Bali.
Mungkin pengunjung yang lebih akrab menonton potongan pementasan wayang dari YouTube akan bertanya-tanya, entah di mana lokasi yang memajang kisah perdalangan para dalang kondang yang pernah ada di museum ini. Mungkin pertanyaan itu belum akan dapat jawaban.
Di dalam ruangan wayang ini, hanya sedikit informasi wayang kekinian. Terpampang jelas bahwa seni wayang dipopulerkan oleh Sultan HB ke-empat. Artinya, istana-lah yang merintis kesenian rakyat yang bersumber dari epos Ramayana dan Mahabharata ini, sebelum lepas-liar ke pelosok-pelosok kota dan desa.
Andaikata dikhususkan gagrak Yogyakarta, pengunjung mungkin berharap terpajang juga kisah hidup para dalang kondang seperti Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Hadi Sugito, Ki Seno Nugroho dan lain-lain. Durna, Sengkuni, Citraksi, Durmogati, Werkudara, Baladewa, Hanoman dan para punakawan Semar sekeluarga begitu hidup dimainkan lewat suara dan tangan para dalang ini. Ditambah lagi Togog dan Mbelung. Belum lagi kalau misalnya ada sejarah sabetan dan unsur-unsur baru perkembangan gamelan. Pastinya akan lebih seru.
Andaikata dikhususkan gagrak Yogyakarta, pengunjung mungkin berharap terpajang juga kisah hidup para dalang kondang seperti Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Hadi Sugito, Ki Seno Nugroho dan lain-lain. Durna, Sengkuni, Citraksi, Durmogati, Werkudara, Baladewa, Hanoman dan para punakawan Semar sekeluarga begitu hidup dimainkan lewat suara dan tangan para dalang ini. Ditambah lagi Togog dan Mbelung. Belum lagi kalau misalnya ada sejarah sabetan dan unsur-unsur baru perkembangan gamelan. Pastinya akan lebih seru.
![]() |
Dok. Melipirnews.com |
Akan sama juga hasilnya apabila pengunjung berharap menemukan para pendukung pementasan wayang, utamanya wayang kulit. Pasalnya, belum juga terpampang sejarah para pengrawit, sinden dan rekor-rekor dunia perdalangan yang pernah ada. Padahal pertunjukan wayang tergantung pada semua unsur itu. Termasuk peran Ki Narto Sabdo, yang dikenal seniman komplet, dan pengaruhnya pada perdalangan Solo dan Yogyakarta, juga belum ditampakkan. Mungkin memang bukan di museum ini, di museum wayang "gagrak" Jogja ini.
Sementara terdengar informasi dari beberapa sumber, Ki Anom Suroto, seorang dalam kondang penerus Ki Narto Sabdo, dan dalang lain tetap setia dengan gagrak Solo-nya. Mungkin akan menambah kelengkapan lagi kalau misalnya ternyata ada kolaborasi antara kraton dan pendidikan formal pedalangan dalam hal pembakuan pakem wayang.
Melipirnews
Komentar
Posting Komentar