Vesak Festival: Makna Spiritual dan Tradisi Memandikan Buddha

Bagi umat Buddhis, relik bukan sekadar sisa jasmani atau benda peninggalan, melainkan perwujudan nyata dari kehadiran spiritual Sang Guru Agung di dunia, bahkan setelah parinibbāna-Nya

Tahun ini, Vesak Festival yang digelar oleh Young Buddhist Association (YBA) mengusung tema "Light of Compassion: Guiding the Next Generation", menegaskan pentingnya nilai welas asih sebagai panduan bagi generasi muda. 

Memandikan Buddha (Latifah/Melipirnews)

Acara yang sebelumnya berlangsung di Surabaya ini berlanjut di Jakarta pada 15-18 Mei 2025. Vesak Festival tak hanya menghadirkan diorama spektakuler—Rupang Buddha Melayang Terbesar yang tercatat di MURI—tetapi juga mengajak pengunjung merasakan pengalaman spiritual melalui aktivitas “Memandikan Buddha”.

Baca juga: Ritual Thudong ke Borobudur Mencoba Menjawab Tantangan Bhikkhu Hutan di Era Kekinian

Tradisi Memandikan Buddha ini bukan sekadar simbolis, melainkan penghormatan mendalam atas kelahiran Pangeran Siddhārtha Gautama. Di balik tradisi ini terdapat kisah setelah Pangeran Siddhārtha lahir di Taman Lumbini. Momen inilah yang mengilhami tradisi Mandi Buddha, sebagai simbol penyucian jasmani dan rohani.

Bagi yang belum memahami esensinya, ritual Memandikan Buddha mungkin terlihat seperti sekadar menuangkan air ke patung bayi Buddha. Namun, di balik gerakan sederhana itu tersimpan makna yang begitu dalam. Dengan menyiram air ke rupang bayi Siddhārtha, terungkap rasa syukur atas kelahiran sosok yang membawa ajaran perdamaian, kebijaksanaan, dan pembebasan dari penderitaan. Lebih dari sekadar penghormatan, ritual ini juga menjadi simbol penyucian diri. Air yang jernih melambangkan kemurnian, dan saat tangan membasuh rupang, kita diajak membersihkan tiga racun batin: keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Seperti air yang menghanyutkan debu, demikian pula pikiran harus dibersihkan dari noda duniawi.

Lewat gerakan sederhana menyiram air ke atas rupang Buddha, kita diajak memusatkan perhatian dan melatih kesadaran penuh. Di momen hening itu, terselip harapan untuk menumbuhkan niat-niat baik—menjaga beningnya pikiran, menebar kebaikan bagi sesama, dan menjalani hidup dengan welas asih Tak hanya berhenti pada diri sendiri, ritual ini juga menjadi sarana mendoakan kedamaian semesta.

Berbagai kegiatan di Vesak Festival ini bersifat terbuka untuk umum, tidak hanya untuk umat Buddha. Bagi banyak keluarga, momen ini menjadi kesempatan mengenalkan anak-anak pada tradisi dan nilai-nilai Buddha dengan cara interaktif. Sementara bagi generasi muda, ritual ini diharapkan bisa menjadi pintu masuk untuk memahami filosofi hidup yang lebih dalam.

Selain itu, dalam Vesak Festival, makna relik menemukan gaungnya kembali di tengah masyarakat. Di antara doa-doa, prosesi, dan ritual, kehadiran relik mengingatkan umat bahwa ajaran Buddha bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan napas hidup yang relevan hingga kini. Saat umat berkumpul, memandikan rupang Buddha, dan menghaturkan penghormatan pada relik, di sanalah welas asih yang diajarkan Sang Buddha kembali dihidupkan—menjadi cahaya penuntun di tengah dunia yang penuh tantangan.

Bagi umat Buddhis, relik bukan sekadar sisa jasmani atau benda peninggalan, melainkan perwujudan nyata dari kehadiran spiritual Sang Guru Agung di dunia, bahkan setelah parinibbāna-Nya.

Baca juga: Masjid Kubah Emas; Tempat Transit Yang Dulu Dipandang Ironi

Penghormatan terhadap relik bukan semata-mata karena bentuk fisiknya, melainkan karena nilai-nilai luhur yang diwakilinya. Setiap relik mengingatkan umat pada kebijaksanaan, ketenangan batin, dan terutama welas asih tanpa batas—tiga kualitas utama yang diajarkan Buddha sepanjang hidupnya. Melalui momen penghormatan ini, umat diajak untuk merenungkan kembali ajaran-ajaran luhur dan menanamkan kebajikan dalam laku sehari-hari.

Foto relik (Latifah/Melipirnews)

Relik menjadi penghubung batin dengan semangat compassion yang diajarkan Buddha. Setiap kali menatap relik, seolah kita diingatkan kembali pada ketulusan Buddha dalam membimbing, dan pengorbanan para Arahat serta makhluk suci demi kebahagiaan semua makhluk. Relik menjadi sumber inspirasi abadi yang mengajarkan bahwa welas asih perlu terus dilatih dan diwujudkan dalam setiap langkah.

Latifah/melipirnews.com

Komentar

Popular News

Menghidupkan Kembali Warisan Literasi dan Budaya di Padepokan Sastra Mpu Tantular

H.A. Mudzakir, Santri dan Seniman Langka yang Pernah Dimiliki Jepara

Keris: Jiwa Budaya yang Tetap Berdenyut dari Masa ke Masa

Melipir Mewarnai Gerabah di Museum Benteng Vredeburg

Bagaimana Dulunya Situ Pasir Putih yang Lagi Viral itu?

Ancaman Korea Utara Menjadi Sebab Utama Wajib Militer Pria Korea Selatan

Songkran yang Makin Mendunia

Dimulainya Musim Haji 2025 dan Heroiknya Perjuangan Berhaji

Menyusuri 125 Tahun Dedikasi Ursulin dalam Pendidikan di Malang

Advertisements

ARTIKEL FAVORIT PEMBACA

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

Melipir Mewarnai Gerabah di Museum Benteng Vredeburg

H.A. Mudzakir, Santri dan Seniman Langka yang Pernah Dimiliki Jepara

Musik Gambus "Milik" Betawi Berunsur Kebudayaan Nusantara

Timun atau Melon Suri yang Selalu Beredar di Jabodetabek di Bulan Suci?

Judi Online Berlari Liar di Antara Pekerja Informal Hingga Anggota Dewan

Rudy Chen Kenalkan Kemakmuran Muslim Shadian di Tiongkok

Perpaduan Ibadah, Pasar dan Donasi Membentang di Masjid Jogokaryan

Perpaduan Budaya Penambah Eksotis Masjid Ridho Ilahi, Wilangan, Nganjuk

Keris: Jiwa Budaya yang Tetap Berdenyut dari Masa ke Masa

Advertisement

Buku Baru: Panduan Praktis Penelitian Sosial-Humaniora

Berpeluh Berselaras; Buddhis-Muslim Meniti Harmoni

Verity or Illusion?: Interfaith Dialogue Between Christian and Muslim in the Philippines


Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.