”Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya"Seorang sastrawan realisme sosial kelahiran Indonesia, bulan ini diperingati 100 tahun kelahirannya. Dialah Pramoedya Ananta Toer yang semasa hidupnya menulis lebih dari 50 karya, dan diterjemahkan ke dalam 42 bahasa. Menurut Tempo, Pramoedya adalah lambang harapan, perlawanan, dan keberanian melawan ketidakadilan.
![]() |
Pramoedya Ananta Toer (Sumber: rri.co.id) |
Tak tanggung-tanggung, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid menyampaikan dalam sebuah kesempatan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada 21 Januari 2025, “Pramoedya adalah sosok penting yang patut dikenang. Karya dan kiprahnya memberikan insight relevan untuk hari ini dan masa depan Indonesia,” seperti tulis Antara.
Dalam esai untuk Jurnal Kebudayaan Kalam, No. 6, 1995, yang diberi judul Rushdie dan Pramoedya: Bersimpangnya Narasi Tentang Bangsa, I Gusti Agung Ayu Ratih mengulik sosok Saleem dalam Midnight's Children-nya Salman Rushdi, yang disandingkan dengan sosok Minke-nya Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi novelnya; Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Kedua novelis ini sama-sama menggambarkan kebimbangan sebuah bangsa lewat cerita yang berpusat pada seorang laki-laki. Tepatnya, bangsa yang baru terbebas dari kolonialisme. Saleem mewakili India dan Minke mewakili kondisi Indonesia. Rumitnya, kolonialisme itu telah begitu mendalam memecah belah anak-anak bangsanya.
Lewat esainya, Ayu Ratih membeberkan kebimbangan Minke tentang identitas pribadinya. kebimbangan yang berdasar pada ruang antara modernitas dan tradisi; Eropa dan Jawa. Pramoedya menggambarkan secara jernih situasi ini dalam pikiran Minke yang berubah-ubah. Jika Saleem beranjak dari perannya sebagai orang publik ke peran sebagai individu yang menyendiri, lintasan perjalanan Minke berlawanan sepenuhnya.
Awalnya, Minke dilukiskan sebagai seorang pelajar di Bumi Manusia, model pribadi yang menyendiri, memutuskan hubungan dengan keluarganya dan hanya berpikir tentang karir pribadinya saja. Sebagai salah satu dari sejumlah kecil pelajar pribumi di sekolahnya ia cukup puas dengan peran yang dilekatkan padanya: Belanda berkulit coklat. Ia percaya pada sosok kekuatan kolonial yang ditampilkan secara sepihak unggul dalam soal kebijaksanaan dan kebebasan.
Salah satu bentuk keranjingannya pada apapun yang berbau Eropa, Minke menulis buku harian, suatu aktifitas pribadi yang jarang dilakukan oleh orang Jawa. Ketika ia terpaksa harus meninggalkan sekolahnya untuk menghadiri upacara tradisional pengangkatan ayahnya sebagai bupati, kakak laki-lakinya menggeledah barang-barang pribadinya, menemukan buku harian Minke kemudian membacanya. Minke menjadi sangat marah oleh pelanggaran privacy itu sementara kakaknya tidak melihat sesuatu yang salah dalam tindakannya.
Pendidikan Eropa, di luar kota kelahirannya, memang mengakibatkan putusnya kelangsungan tradisi keluarga dalam kehidupan Minke. Tetapi itu tidak membuat Minke sepenuhnya memiliki identitas alternatif. Setinggi apapun ia terangkat oleh pendidikannya, ia tetap seorang pribumi, atau jelasnya tetap warga negara kelas dua. Status Minke yang berada diantara dua dunia (liminal) ini menentukan pola hubungannya dengan tokoh-tokoh lain di dalam cerita.
Nyai Ontosoroh, gundik pengusaha Belanda yang kemudian menjadi matriarch dalam keluarganya, pengelola perusahaan pertanian besar yang sukses, pemilik rumah tempat Minke menetap, juga memperoleh status liminal ganda: pertama, karena hubungannya dengan Herman Mellema; kedua, karena ia melaksanakan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh kaum lelaki.
Bagi Ratih, menarik sekali cara Pramoedya menghadirkan karakter-karakter yang marjinal dalam tradisi budaya arus utama pada saat itu. Tampaknya ia ingin menunjukkan bibit-bibit radikal yang merangsang tumbuhnya gerakan nasionalisme di Indonesia. Perjalanan Minke belumlah berakhir dengan berangkatnya Annelies, istri bulenya, ke Negeri Belanda. Lalu Minke menggeluti dunia jurnalistik.
Pramoedya menuliskan suatu proses historis yang aktual dimana pers menjadi kekuatan yang luar biasa dalam kehidupan budaya di Hindia Belanda menjelang abad ke-20. Memerangi Belanda dalam konteks yang baru ini bukan berarti mobilisasi kekuatan militer (seperti yang terjadi pada Perang Jawa, 1825- 1830) tetapi mobilisasi opini publik. Konsep penting yang dipakai untuk memobilisasi opini publik sebenarnya adalah prinsip-prinsip yang diyakini oleh para kolonialis sendiri: keadilan dan persamaan hak.
Minke, lepas dari kehidupan pribadinya, belajar bagaimana berperang dengan cara ini, melalui ujaran yang tercetak dan dengan senjata keadilan dan kesetaraan. Kalimat terakhir dalam Bumi Manusia yang diucapkan oleh Nyai Ontosoroh kepada Minke menjadi pedoman langkah Minke ke buku-buku selanjutnya,”Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Melipirnews, dari berbagai sumber.
Komentar
Posting Komentar