Nasib Pengungsi Myanmar yang Terdampar di Kawasan Aceh: Terancam Masa Depannya

 “I want to continue my study here. But I don’t have an ID card, so I can’t enroll in any school here. I’m a refugee. My ID card was burnt during the riot in Myanmar”.

Ilustrasi pengungsi Rohingya

Sebutlah Faiz, anak muda pengungsi Myanmar yang bekerja di sebuah warung makan di suatu sudut kota Kuala Lumpur. Ia menuturkan isi hatinya itu kepada redaksi Melipirnews.com awal Februari 2023 lalu. Untuk menyambung hidup, ia bekerja sangat keras di warung itu sepanjang pagi hingga menjelang malam. 

Bosnya yang orang Malaysia kebetulan sangat percaya padanya. Ia ditempatkan bertugas di meja kasir. Sebagai penjaga kasir, tugasnya tentu saja menerima pembayaran dari para pembeli. Pekerjaan ini terhitung bagus bagi dirinya yang tidak lain seorang imigran Rohingya. Pekerja warung makan lainnya di situ kebanyakan bertugas di bagian dapur serta sebagai pramusaji. Salah satu kelebihan pemuda bujangan ini karena ia lebih cakap berbahasa Inggris ketimbang karyawan lainnya. Sebenarnya kebanyakan karyawan di warung makan itu berasal dari Indonesia.

Orangtua dan saudaranya tinggal di Bangladesh. Di Malaysia, ia tinggal dengan rekannya sesama pengungsi yang dipekerjakan para pengusaha Malaysia. Ia sudah pernah menjenguk ibunya di kamp pengungsian di Bangladesh. Ia juga tidak lupa menyisihkan penghasilannya untuk ibunya di Bangladesh sambil mencari peluang agar dapat meneruskan pendidikannya di Malaysia. Di Myanmar dulu, ia sempat mengenyam pendidikan hingga setingkat SMA sebelum kerusuhan memaksanya pergi. Oleh karena itu, ia mampu berbahasa Inggris cukup baik. Di warungnya ini, para turis maupun pelajar dari luar Malaysia ia layani dengan Bahasa Inggris. Dia sendiri juga sudah fasih berbahasa Melayu.

Faiz mungkin bernasib sedikit lebih baik ketimbang saudara-saudaranya sesama pengungsi Muslim Rohingya yang kini menetap di kawasan Provinsi Aceh. “Manusia perahu”, istilah yang pertama muncul kepada kelompok pengungsi dari Myanmar ini, kebanyakan memang terdampar di perairan Aceh. Kawasan Indonesia bukanlah tujuan mereka. Bukan juga Malaysia. Namun di Malaysia, banyak dari kalangan mereka yang dapat bekerja seperti Faiz di atas. Mereka yang tinggal di Aceh sekarang ini gara-gara perahu yang mereka tumpangi bermasalah dan terdampar di perairan Aceh.

Menurut data mutakhir, saat ini sebanyak 549 pengungsi etnis Rohingya berada di Provinsi Aceh yang ditampung sementara di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, dan Kota Lhokseumawe. Data yang tercatat pula, sejak tahun 2011 terdapat sejumlah 2.446 pengungsi yang terdampar di Aceh. Dus, artinya banyak pengurangan jumlah pengungsi selama kurun waktu 12 tahun terakhir. Menurut kabar yang ada, mereka banyak yang melarikan diri dari kamp pengungsian.

Tinggal di kamp pengungsian di Aceh, membuat mereka hidup serba terbatas. Di awal-awal, kamp pengungsian itu berada di perkampungan penduduk. Tidak jarang juga terjadi gesekan antara pengungsi dan penduduk lokal. Paling sulit diterima melihat para pengungsi itu mendapat fasilitas hidup, baik yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, International Organization for Migration (IOM) maupun dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Di lain sisi, penduduk lokal yang juga hidup di ambang batas garis kemiskinan berharap juga mendapatkan bantuan.

Sayangnya belum diketahui fasilitas selain makanan dan minuman yang diterima oleh para pengungsi di kamp pengungsian. Besar kemungkinan seperti cerita Faiz di atas, pendidikan anak-anak dan kalangan muda pengungsi itu terhambat. Begitu pula dengan perlindungan terhadap kesehatan mereka. Layak dikhawatirkan pula, seperti apa masa depan para pengungsi itu nantinya terutama kalangan usia mudanya.

Ditambah lagi, pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi (1951) dan protokol-nya (1967). Hal ini menjadikan Indonesia tidak berkewajiban menyambut kedatangan para pengungsi dan memenuhi hak-hak hidup para pengungsi. Kepedulian pemerintah Indonesia selama ini terhadap pemenuhan kebutuhan para pengungsi sebatas karena alasan penghargaan terhadap nilai Hak Asasi Manusia (HAM) semata, seperti pernyataan Kemenlu RI. Karena itu masa depan para pengungsi Myanmar di Kawasan Aceh ini sebenarnya cukup riskan, terutama bagi generasi muda mereka.

MN
Baca Juga

Komentar

Buku Baru: Panduan Praktis Penelitian Sosial-Humaniora

Berpeluh Berselaras; Buddhis-Muslim Meniti Harmoni

Verity or Illusion?: Interfaith Dialogue Between Christian and Muslim in the Philippines

IKLAN ANDA

IKLAN ANDA

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis.Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis.