Salah Satu Cara Akademisi dan Jurnalis Asing Melihat Papua Yang Perlu Diwaspadai (1)

Perlulah diwaspadai, gerakan West Papua merdeka ini menjadi bergelora di luar negeri karena keterlibatan kalangan akademisi
Pada sesi ceramah penutupan the 3rd World Journalism Education Congress (WJEC), Sabtu, 16/07/2016 di auditorium School of Communication, Auckland University of Technology (AUT), New Zealand, Kalafi Maola, tokoh berpengaruh di wilayah Pasifik berwarga negara Tonga menyuarakan dengan lantang di hadapan sekitar 200-an peserta kongres dari lima benua tentang sedang terjadinya kolonisasi Indonesia atas Papua, atau dalam istilahnya West Papua. Ia bahkan secara mendasar memprotes masuknya Papua (West Papua) ke wilayah Asia Tenggara karena menurutnya lebih tepat jika Papua (West Papua) bergabung dengan Pasifik-Oceania.






Pernyataan Kalafi Maola itu layak dijadikan renungan bagi ahli kajian kewilayahan serta pihak penentu kebijakan terkait. Begitu pula bagi pengkaji politik identitas serta multikulturalisme. Hanya saja yang di luar dugaan, pernyataan demikian itu dimunculkan di saat sesi penutupan kongres jurnalisitik internasional yang temanya sama sekali tidak membahas masalah Papua. Sehari sebelum acara kongres ini dimulai, bahkan juga diadakan acara Oceania Interrupted, yang diisi dengan orasi tentang terancamnya suku asli (indigenous people) Papua oleh Indonesia, kecaman mereka terhadap diamnya pemerintah New Zealand terhadap isu Papua yang mereka dengungkan, serta keyakinan bahwa cepat atau lambat West Papua akan merdeka (http://asiapacificreport.nz/2016/07/13/wjec16-oceania-interrupted-give-journalism-educators-a-taste-of-papua/, diakses 9 November 2016).

Entah sebuah kebetulan atau memang telah direncanakan, dalam pekan yang sama, di Yogyakarta tengah terjadi pengibaran bendera bintang pagi (morning star) di asrama mahasiswa yang digalang kelompok mahasiswa mengatasnamakan Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) yang berujung ricuh karena digagalkan oleh pihak kepolisian. Peristiwa itu tampaknya berbuntut panjang, karena asrama mahasiswa asal Papua dituding digunakan kegiatan kelompok separatis. 

Bukan hanya aparat yang melakukan pencegahan, pihak masyarakat pun juga gerah dengan aksi tersebut hingga menimbulkan polemik layak tidaknya mahasiswa Papua pengusung ide separatisme belajar di kota itu. Kondisi terus memanas hingga dua gubernur, Gubernur Propinsi Papua Lukas Enembe dan Gubernur Propinsi DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X bertemu pada awal Agustus 2016 untuk mendinginkan suasana.

Patut dicermati bahwa suara-suara sumbang tentang West Papua tampaknya terus dikumandangkan aktivis pendukung West Papua merdeka di luar negeri. Salah satunya misalnya dari Pacific Media Review, Auckland University of Technology (AUT), tempat kongres pendidikan jurnalisme internasional berlangsung baru-baru ini. 

Beberapa tokohnya mendakwa telah terjadi kerusakan ekosistem di wilayah Pasifik. Menurut penuturan mereka yang didengar penulis, di bawah Indonesia, terjadilah belakangan natural disaster di wilayah Lautan Oceania yang disebabkan climate change akibat rusaknya tanah dan hutan di West Papua. Konon, air laut meninggi beberapa tahun terakhir ini di wilayah negara-negara kecil Oceania. Tidak ketinggalan dalam sorotan mereka terjadinya pelanggaran HAM akut di West Papua. Lebih mencengangkan lagi, mereka seperti bernubuat cepat atau lambat Papua akan merdeka.

Kata merdeka disertai pengibaran bendera bintang pagi itu memang multitafsir. Salah satu tafsir yang menguat adalah ekspresi budaya warga Papua. Hal ini seperti pernah dikumandangkan almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menanggapi protes pelarangan pengibaran bendera bintang pagi. Mengagetkannya, penjelasan Gus Dur ini seperti dibelokkan oleh para aktivis pro kemerdekaan Papua, yang bukan semata ekspresi budaya melainkan jauh ke luar konteks ke arah kedaulatan politik dengan memisahkan diri dari NKRI. Hal ini yang belakangan didengung-dengungkan para pengungsi, pelarian tahanan politik dan eksil Papua di luar negeri. Jelas ini pemikiran kontradiktif dari apa yang diinginkan Gus Dur.

Perlulah diwaspadai, gerakan West Papua merdeka ini menjadi bergelora di luar negeri karena keterlibatan kalangan akademisi, yang bukan semata dari politisi dari beberapa negara sebagaimana yang telah dikenal selama ini. Selama ini memang telah banyak diketahui, sekolompok invidividu berdarah Papua di luar negeri mendapat dukungan utamanya dari negara-negara di kawasan Pasifik. Selain dukungan politik, mereka juga memberikan dukungan berupa fasilitas termasuk penyelenggaraan pertemuan antara aktivis gerakan Papua merdeka dengan kalangan politisi dari kawasan tersebut. Vanuatu disebut sebagai salah satu donatur dari gerakan ini.

Kecenderungan baru belakangan ini perlu ditangkap, bahwa kelompok pro Papua merdeka mendapat dukungan istiwewa dari kalangan kampus. Pacific Media Centre, di bawah pimpinannya David Robie, seorang guru besar di Auckland University of Technology, sangat getol mengadvokasi kepentingan kelompok pendukung Papua merdeka. 

Gagasan kelompok ini dituangkan dalam journal ilmiah dan unggahan tulisan di website yang mereka kelola secara serius. Belum terhitung lagi aksi-aksi lapangan maupun workshop yang dilakukan kelompok aktivis yang berafiliasi dengan lembaga ini yang secara terang-terangan menuntut kemerdekaan West Papua. Tampaknya mereka jelas menyasar pemerintah New Zealand dan Australia agar mendukung gagasan dan perjuangan mereka, walau kedua negara tersebut tetap bergeming.

Bersambung.......


Cahyo Pamungkas (BRIN) & Moh Zaenal Abidin Eko Putro (CENAS)

Komentar

Popular Posts

Drama Pertentangan Duterte dengan International Criminal Court (ICC)

Survai: Hak Publik Dapatkan Berita Akurat Terancam Jika Intimidasi Jurnalis Terus Terjadi

Komunikasi Empatik: Kunci Pemimpin Membangun Kepercayaan dan Hubungan yang Kuat

Antara Pariwisata dan Pelestarian: Dilema Borobudur dalam Perpres 101 Tahun 2024

Kepemimpinan Algoritma: Siapkan Pemimpin Jawa Timur Hadapi Era Digital

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

MTI: Setelah 10 tahun Bridging, Seharusnya Ojol Hanya untuk Pengantaran Barang

Perjuangan Minoritas dalam Membangun Identitas Nasional di Asia Tenggara

Penyebab Banjir, Gubernur Dedi: Akibat Pembangunan, Pusat: Curah Hujan

Gorengan Khas Jepang dan Impor Minyak Sawit dari Indonesia

Advertisements

ARTIKEL FAVORIT PEMBACA

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

Timun atau Melon Suri yang Selalu Beredar di Jabodetabek di Bulan Suci?

Judi Online Berlari Liar di Antara Pekerja Informal Hingga Anggota Dewan

Musik Gambus "Milik" Betawi Berunsur Kebudayaan Nusantara

Kontes Debat Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)

Perpaduan Budaya Penambah Eksotis Masjid Ridho Ilahi, Wilangan, Nganjuk

Bertaruh Cuan di Tengah Kemacetan Jalan Raya Sawangan

Kasih Bunda Tak Terkira; Ber-Solo Touring Demi Tengok Anaknya

Kawasan Menteng Bergaya Eropa Jejak Peninggalan Kebijakan Daendals

Rangkaian Harmusindo 2024: Dorong Museum Sebagai Destinasi Wisata dan Edukasi

Advertisement

Buku Baru: Panduan Praktis Penelitian Sosial-Humaniora

Berpeluh Berselaras; Buddhis-Muslim Meniti Harmoni

Verity or Illusion?: Interfaith Dialogue Between Christian and Muslim in the Philippines

IKLAN ANDA

IKLAN ANDA

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.