Pertahanan Terakhir Peternak Sapi Perah Di Depok

Sadar atau tidak, salah satu mobil yang makin langka lewat di jalanan Depok ialah mobil pengangkut rumput. Sekarang justru yang ramai lewat mobil pengangkut sayur mayur serta tanaman hias untuk menyebut jenis tanaman yang lalu lalang di jalanan. Tapi khusus pengangkut rumput, sekarang hampir susah ditemui. Lalu mengapa makin jarang mobil pengangkut rumput yang lewat? Tidak tepat benar jelasnya, namun dugaan makin menyusutnya ternak sapi terutama sapi perah di Depok memang tidak dapat ditampik.






Profesi warga Depok yang beternak sapi perah ini bukan asal peternak biasa. Perlu diketahui siapa para peternak sapi perah di Depok ini? Menurut penuturan lisan yang berkembang, ternyata profesi itu dijalani oleh para pendahulu sebagian dari warga Depok yang dulunya mendiami kawasan Jakarta, terutama dari daerah Kuningan yang kini dikenal dengan kawasan segitiga emas. Sentra sapi perah di Jakarta kala itu tidak hanya di Kuningan, namun juga di wilayah Mampang Prapatan, Buncit Raya, Pancoran, Pasar Minggu, Jagakarsa dan lainnya.

Bersumber dari berita Republika, peternakan sapi perah di Jakarta mulanya digagas oleh bangsa Belanda yang mengenalkan jenis sapi Frisia atau Holstein (FH) atau sapi warna hitam putih. Seiring bertambahnya populasi sapi perah di wilayah Jakarta Selatan, tahun 1958 dibuat sebuah organisasi sebagai wadah para peternak yakni Koperasi Perusahaan Daerah Ibu Kota. Pada tahun 1978 para peternak mendapat bantuan presiden berupa sapi perah dari Australia.

Akan tetapi, seperti dilaporkan Republika, rupanya agenda lain menyusupi kebijakan pemerintah saat itu. Lalu di tahun 1986 Gubernur DKI Jakarta, Wiyono Atmodarminto mendapat perintah Presiden Soeharto untuk merelokasi peternak keluar dari tempat tinggal serta tempat ternaknya. Sesuai Surat Keputusan Nomor 200/1986 peternak kawasan Kuningan direlokasi karena akan dijadikan kawasan antar bangsa. Lalu belakangan dibangunlah kantor kedutaan maupun rumah para duta besar di lahan yang telah ditinggalkan para peternak sapi perah itu.

Para penyintas kebijakan Orde Baru tentang kawasan segi tiga emas itu antara lain menyebar ke Depok. Lantas, di tempat baru inilah mereka meneruskan profesi mereka dan pendahulu mereka sebelumnya di Jakarta. Dalam perkembangannya, tidak mengherankan Depok memiliki 4 kawasan peternakan sapi perah yaitu di daerah Kukusan, Sawangan, Tanah Baru, dan Meruyung. Selain untuk kebutuhan pasokan industri susu olahan, banyak juga yang dijajakan sebagai minuman susu sapi segar. Demikian ditulis Rachmatiah dkk yang dimuat di jurnal Sainstech Vol. 23 No. 2, Juli 2013.

Namun, seperti di awal tulisan ini, para pencari rumput sekarang tidak seramai dulu mondar-mandir. Bekas kandang sapi juga telah banyak berubah menjadi pemukiman, termasuk untuk kontrakan maupun kos-kosan. Jenis pekerjaan pun sudah berubah. Semakin jarang petani dan peternak di sektor ini di kawasan Depok. Rumput-rumput dipotong menunggu kering untuk selanjutnya dibakar, bukan lagi untuk dimakan sapi.

Merujuk data dari Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan Kota Depok (2019), di kecamatan Beji (yang mencakup kelurahan Tanah Baru dan Kukusan) jumlah sapi perah telah mencapai di angka 0. Sapi-sapi itu masih dipertahankan di Kecamatan Limo (33 ekor), Sawangan (72 ekor), Pancoran Mas (34 ekor), Tapos (25 ekor), dan untuk jumlah yang lumayan besar terdapat di Kecamatan Cimanggis (123 ekor) dan Cipayung (182 ekor). Di beberapa kecamatan lainnya ternyata tidak tersisa. Jadi, total populasi sapi perah di Depok tahun 2019 mencapai angka 490 ekor.

Di tengah kawasan yang tengah terus berubah, sebagian peternak telah mematikan profesinya sendiri sebagai peternak sapi perah. Mereka dan generasi penerusnya beralih ke sektor usaha lain yang umumnya terkait dengan pemukiman dan pendidikan. Tidak hanya di kawasan pedesaan mencari petani usai muda susah, kini di kota pun sama juga kondisinya.

Melipir News

Komentar

Popular Posts

Drama Pertentangan Duterte dengan International Criminal Court (ICC)

Survai: Hak Publik Dapatkan Berita Akurat Terancam Jika Intimidasi Jurnalis Terus Terjadi

Komunikasi Empatik: Kunci Pemimpin Membangun Kepercayaan dan Hubungan yang Kuat

Antara Pariwisata dan Pelestarian: Dilema Borobudur dalam Perpres 101 Tahun 2024

Kepemimpinan Algoritma: Siapkan Pemimpin Jawa Timur Hadapi Era Digital

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

MTI: Setelah 10 tahun Bridging, Seharusnya Ojol Hanya untuk Pengantaran Barang

Perjuangan Minoritas dalam Membangun Identitas Nasional di Asia Tenggara

Penyebab Banjir, Gubernur Dedi: Akibat Pembangunan, Pusat: Curah Hujan

Gorengan Khas Jepang dan Impor Minyak Sawit dari Indonesia

Advertisements

ARTIKEL FAVORIT PEMBACA

Memanfaatkan Setu-Setu di Depok Sekaligus Menjaganya dari Ancaman Alih Fungsi

Timun atau Melon Suri yang Selalu Beredar di Jabodetabek di Bulan Suci?

Judi Online Berlari Liar di Antara Pekerja Informal Hingga Anggota Dewan

Musik Gambus "Milik" Betawi Berunsur Kebudayaan Nusantara

Kontes Debat Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)

Perpaduan Budaya Penambah Eksotis Masjid Ridho Ilahi, Wilangan, Nganjuk

Bertaruh Cuan di Tengah Kemacetan Jalan Raya Sawangan

Kasih Bunda Tak Terkira; Ber-Solo Touring Demi Tengok Anaknya

Kawasan Menteng Bergaya Eropa Jejak Peninggalan Kebijakan Daendals

Rangkaian Harmusindo 2024: Dorong Museum Sebagai Destinasi Wisata dan Edukasi

Advertisement

Buku Baru: Panduan Praktis Penelitian Sosial-Humaniora

Berpeluh Berselaras; Buddhis-Muslim Meniti Harmoni

Verity or Illusion?: Interfaith Dialogue Between Christian and Muslim in the Philippines

IKLAN ANDA

IKLAN ANDA

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis. Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.