John Kecil dan Ambengan Lezat, Simbolisasi Masyarakat Lekat

Tindakan setiap rumah tangga di desa-desa di Jawa dan juga mungkin di berbagai daerah seluruh pelosok negeri ini dengan kemiripannya, dalam menyiapkan nasi ambeng itu sebenarnya sungguh besar manfaatnya. Nampan-nampan nasi ambeng itu merekatkan antar warga (social bonding)
Sepertinya tanpa harus didetailkan, nampan-nampan nasi ambeng itu hampir isinya sama. Menu utama adalah nasi putih yang kemudian ditemani oleh aneka lauk pauk seperti gulai ayam, gulai atau semur tahu, telur rebus atau goreng, tempe orek, mie goreng, sayur urap dan sebagainya. Sebelum maraknya daging ayam potong, dulunya daging ayam kampung yang lebih lezat tersaji di nampan-nampan itu. 

Lauk pauk di nampan itu tak jarang mengundang tanda tanya besar di kalangan jemaat begitu nampan datang dan disatukan di tempat yang telah ditentukan. Tak dipungkiri semua mata tertuju ke arah jajaran nampan itu walaupun hanya sekian detik lamanya. Lauk apakah gerangan? Namun, tidak ada keharusan juga untuk menyuguhkan menu lezat berlauk ayam, ada juga yang cukup dengan menu telur dan tahu, tergantung kemampuan masing-masing rumah tangga.





Suatu pagi, anak-anak Taman Kanak-Kanak (TK) di komplek perumahan sebuah daerah perkotaan dianjurkan membawa barang tertentu sebagai hadiah untuk dilakukan kegiatan tukar kado minggu berikutnya. Sepulang dari sekolah, si kecil John menyampaikan pesan dari gurunya itu kepada ibunya, sambil tidak lupa menyampaikan pesan gurunya selanjutnya bahwa harga barang dibatasi paling mahal Rp. 10 ribu.

Minggu depannya sebagaimana yang telah dijadwalkan, John dengan riang pergi ke sekolah membawa tas yang selain alat tulis, juga berisikan tempat minum dari bahan plastik yang telah dikemas rapi oleh ibunya. John dengan sukacita mengeluarkan kadonya itu dan kemudian sesuai arahan gurunya kado itu ditukarkan dengan temannya. Pulang sekolah, John membawa bingkisan kado berupa buku gambar dengan sampul berupa gambar hewan kesukaannya. Hari itu John bahagia dan benar-benar berkesan baginya.

Entah bagaimana mengaitkannya, peristiwa mirip dengan tukar kado itu pun sebenarnya sudah lama berlangsung di desa-desa di Jawa. Tepatnya pada saat salat Idul Fitri, peristiwa mirip kegiatan tukar kado di sekolah-sekolah anak-anak kota itu terjadi. Di pagi buta Idul Fitri, masing-masing rumah, dengan dibawa oleh salah satu anggota rumah, mengeluarkan nampan berisi nasi ambeng untuk dibawa ke tempat pelaksanaan salat Ied. Di beberapa tempat, ritual ini disebut ambengan. Di tempat salat Ied, nampan nasi ambeng itu ditempatkan di satu tempat khusus yang menyatukannya dengan nampan nasi ambeng-nasi ambeng yang lain.

Guideline alias panduan distribusi nasi ambeng itu juga sangat sederhana. Pihak yang terbiasa yang dianggap punya otoritas, biasanya anggota jemaat senior, mendistribusikan nampan-nampan itu ke berbagai titik di tempat salat Ied. Pendistribusian itu dilakukan selepas prosesi salat Ied selesai. Lantas jemaat di sekitarnya kontan melingkari nampan itu, sembari bersama-sama melafalkan kalimat tahlil dan lain-lainnya yang dipimpin seorang imam. Selesai salat Ied biasanya memang dilanjutkan dengan sesi tahlilan. Nampan baru boleh buka dan nasi ambeng dimakan setelah doa prosesi tahlilan selesai. Lalu, jemaat makan nasi ambeng bersama-sama.

Umumnya nasi ambeng itu tidak habis di makan di tempat. Inilah yang menarik. Tanpa ada yang mengomando, masing-masing 'anggota' nampan itu mendapatkan pembagian sisa nasi ambeng yang dimakan bersama-sama tadi. Pendeknya, nampan nasi ambeng itu harus habis tak tersisa. Ketika semua orang mendapatkan bagiannya, maka nasi sisa hasil pembagian itu kemudian mengisi nampan-nampan yang telah kosong itu sesuai pemiliknya dan kemudian dibawa kembali pulang masing-masing pemilik nampan. Situasi seperti ini tak bedanya dengan cerita si kecil John yang bersuka cita mendapatkan hadiah dari tukar kado di sekolahnya.

Dalam artikel yang berjudul, Makna Filosofis Tradisi Ambengan di Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha Bagi Masyarakat Tulungagung, yang ditulis oleh Aprilisa & Setyawan dan diterbitkan dalam Jurnal Sumbula Vol 6 No. 2 (2021), nasi ambeng itu memiliki beberapa makna, antara lain sebagai ungkapan rasa syukur, penerapan nilai kegotongroyongan, dan saling menghormati satu sama lain.

Tak pelak, nasi ambeng memang memiliki makna cukup dalam. Tindakan setiap rumah tangga di desa-desa di Jawa dan juga mungkin di berbagai daerah seluruh pelosok negeri ini dengan kemiripannya, dalam menyiapkan nasi ambeng itu sebenarnya sungguh besar manfaatnya. Nampan-nampan nasi ambeng itu merekatkan antar warga (social bonding). Nampan-nampan itu bukan sekadar berisi menu makanan lezat semata-mata. Selain itu juga mencerminkan terwujudnya kemandirian bersama dan saling membantu sesama (communal self help). Lebih dari itu, syarat saling percaya harus ada. Tanpa adanya rasa saling percaya (trust) di antara jemaat masjid atau musholla yang telah terbangun sebelumnya, maka tentu tidak mudah terlestarikannya 'ritual' nasi ambeng pada saat salat Ied seperti itu.

Tak berlebihan, ambengan selain memang rasanya lezat, juga membuat masyarakat lekat satu sama lain. Apalagi jika dilaksanakan pada peristiwa sakral setahun sekali seperti halnya pada saat salat Iedul Fitri.


MN
Baca Juga

Komentar

Buku Baru: Panduan Praktis Penelitian Sosial-Humaniora

Berpeluh Berselaras; Buddhis-Muslim Meniti Harmoni

Verity or Illusion?: Interfaith Dialogue Between Christian and Muslim in the Philippines

IKLAN ANDA

IKLAN ANDA

Kirimkan Artikel Terbaik Anda

Kanal ini menerima sumbangsih tulisan features terkait dengan area dan tujuan kanal. Panjang tulisan antara 500-700 kata. Dikirim dengan format, yakni judul-MN-nama penulis.Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis.