"Haji dalam sastra adalah mahakarya yang mengabadikan perjalanan spiritual sekaligus transformasi kemanusiaan,"
Demikian ungkap Ahmad Bahtiar dalam diskusi yang diadakan oleh HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia) yang berlangsung pada awal tahun ini. Diskusi ini berhasil menguak lapisan-lapisan makna ibadah haji yang terpatri dalam karya sastra Indonesia klasik, jauh melampaui sekadar ritual keagamaan semata.
![]() |
Suasana haji jaman dulu (Sumber: istockphoto.com) |
Haji sebagai Titik Balik Kehidupan
Melalui empat mahakarya sastra - Tjerita Nyai Dasima (1896), Hikayat Siti Mariah (1910), Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938), dan Percobaan Setia (1937) - Bahtiar memandu peserta menyusuri relung-relung kisah haji yang penuh makna.
Baca juga: Dimulainya Musim Haji 2025 dan Heroiknya Perjuangan Berhaji
Di Bawah Lindungan Ka'bah karya Hamka mungkin menjadi contoh paling menyentuh. "Kita diajak menyaksikan Hamid, tokoh utama yang berhaji untuk mencari pencerahan setelah patah hati," jelas Bahtiar.
Adegan ketika Hamid berdiri di depan Ka'bah, dengan air mata yang tak terbendung, digambarkan Hamka dengan kalimat-kalimat puitis yang menusuk kalbu. Di sana, haji bukan sekadar kewajiban agama, melainkan proses penyucian jiwa yang menghadirkan kedamaian sejati.
Sementara itu, Hikayat Siti Mariah memotret fenomena sosial yang unik. "Di tengah masyarakat Batavia yang multietnis saat itu, gelar haji mampu menjadi semacam 'bahasa universal' yang meruntuhkan sekat-sekat kesukuan dan status sosial," papar Bahtiar. Seorang haji dari Betawi bisa dengan mudah bergaul dengan haji dari Jawa atau Arab, sesuatu yang jarang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masa kolonial.
Perjuangan Para Calon Haji Era Kolonial
Bagian yang paling berkesan dalam diskusi adalah ketika Bahtiar mengisahkan perjuangan fisik para calon haji di masa lalu. "Bayangkan, mereka harus berbulan-bulan mengarungi lautan dengan kapal yang sederhana dan sesak," ujarnya sambil menunjukkan ilustrasi kapal haji tahun 1900-an.
Menyimaknya, membuat tertegun ketika mendengar kisah tokoh-tokoh dalam novel yang harus bekerja serabutan di Singapura hanya untuk bisa melanjutkan perjalanan suci mereka. "Inilah yang saya sebut sebagai 'pahlawan spiritual'," tegas Bahtiar. "Mereka rela menempuh segala kesulitan demi sebuah panggilan jiwa," lanjutnya.
Transformasi Sosial Pasca-Haji
Aspek lain yang tak kalah menarik adalah perubahan sosial yang terjadi setelah seseorang menunaikan ibadah haji. Percobaan Setia, karya Suman Hs. dengan apik menggambarkan bagaimana pengalaman haji mengajarkan nilai-nilai kesabaran dan kerendahan hati kepada Syamsudin, tokoh utamanya. Yang lebih menarik lagi adalah fenomena perubahan identitas pasca-haji yang menjadi ciri khas masyarakat saat itu. Banyak tokoh dalam novel-novel tersebut yang mengganti nama mereka setelah berhaji, semacam penanda kelahiran kembali secara spiritual.
Baca juga: Enam Kisah Penambal Ban Sampai ke Baitullah
Sesi tanya jawab berlangsung hangat dan penuh inspirasi. Farida, salah satu peserta dari Depok, berbagi pengalaman, "Membaca kisah-kisah ini membuat saya menyadari bahwa nilai-nilai haji - kesetaraan, ketabahan, pencarian makna hidup - adalah nilai universal yang relevan hingga kini."
Bahtiar pun menambahkan, "Inilah kekuatan sastra. Ia mampu mengabadikan esensi haji bukan sebagai ritual yang beku, melainkan sebagai pengalaman hidup yang dinamis dan transformatif."
Diskusi ini membawa pada kesimpulan, melalui sastra, pembaca diajak menyadari bahwa haji bukan sekadar perjalanan fisik ke Tanah Suci, melainkan petualangan batin yang mengubah manusia secara fundamental. Selain itu, karya sastra klasik Indonesia ternyata menyimpan khazanah pemikiran yang sangat kaya tentang makna haji - sebuah warisan budaya yang patut kita lestarikan.
Latifah/Melipirnews
Komentar
Posting Komentar