Buah pisang digantung di pinggir jalan. Warnanya menguning, tanda sudah matang benar
Pemandangan ini terlihat jelas sepanjang menyusuri jalanan antara pusat kota Malaka, Betun, hingga ke kawasan pos lintas batas negara (PLBN) Motamasin, yang membelah wilayah Indonesia dengan Timor Leste. Lebih-lebih di wilayah mendekati pos. Pisang-pisang itu bergelantungan di kios yang rata-rata terbuat dari bambu. Kadang, beberapa kios juga menyelipkan hasil panen kebon yang lain, selain pisang. Namun buah pisang seolah tak boleh terlewatkan.
![]() |
Buah pisang digantung di tepi jalan menuju pos perbatasan Motamasin (Dok. Istimewa) |
Seolah mata membelalak, begitu sampai di pos perbatasan. Hamparan bunga-bunga bermekaran. Bangunan gedung yang masih baru. Jalan terkonblok rapi serta papan tulis menunjukkan tanda dan arah yang begitu jelas dan warnanya masih tajam. Sedap dipandang, seiring dengan memandang lambang burung garuda dan bendera merah putih.
Baca juga: Nasib Pengungsi Myanmar yang Terdampar di Kawasan Aceh: Terancam Masa Depannya
Kala itu, kawasan Malaka belum pulih benar dari hantaman banjir saat perjalanan ini dilakukan. Sisa-sisa banjir masih membekas. Lahan pertanian rusak, jalanan terkelupas hingga rumah-rumah yang belum sempat dibersihkan dari sisa-sisa banjir hebat awal tahun 2022.
Walaupun sebagian Nusa Tenggara Timur dikenal kawasan yang kering, namun tidak demikian dengan Kabupaten Malaka yang notabene pemekaran dari Kabupaten Belu. Malaka memisahkan diri dari Belu pada tahun 2013.
Air melimpah, terutama saat-saat banjir akibat sungai-sungai tidak mampu menampung air lagi. Sungai Benanai dan jembatannya, sempat menghebohkan karena jembatan yang menghubungkan Malaka dengan wilayah pesisir selatan pulau Timor lainnya nyaris ambruk diterjang banjir.
Sapi dan kambing menjadi hewan ternak yang paling mudah dijumpai. Kawanan hewan ternak ini tampak bebas berkeliaran di jalan-jalan. Akibatnya para pengguna jalan haruslah berhati-hati. Hewan-hewan ternak ini begitu berharga bagi warga di sekitar kawasan ini.
Tidak jarang mobil penumpang umum berplat hitam, sejenis mobil niaga, mengangkut hewan ternak
Tidak jarang mobil penumpang umum berplat hitam, sejenis mobil niaga, mengangkut hewan ternak. Salah seorang blogger yang pernah ditemui Melipirnews.com menceritakan bahwa dirinya pernah satu perjalanan dengan seekor kambing yang diletakkan di atas mobil. Selama berjam-jam kambing itu di atas mobil dan nahasnya, hampir selama perjalanan itu pula hujan turun sangat deras.
Semua penumpang di mobil merasa iba mendengar teriakan kambing-kambing di atas mobil itu. Namun, para penumpang tidak bisa berbuat banyak. Mobil terus melaju. Kondisi hujan dan kanan kiri jalan berupa lahan terbuka yang tidak ada tempat berteduh, membuat tidak ada pilihan lain selain melanjutkan perjalanan.
Sopir pun hanya terdiam. Ia hanya mengangkut saja, dengan harapan agar kambingnya masih hidup sesampainya tujuan. Benar saja. Sesampainya tujuan di kota Betun, kambing itu masih hidup dan diturunkan oleh sopir untuk diserahkan kepada pemilik alamat rumah yang dituju. Demikian tuturan seorang blogger yang pernah mengunjungi beberapa kali wilayah tersebut.
Di belakang buah pisang-pisang yang menguning itu, berdiri bangunan-bangunan semi permanen di wilayah perbatasan. Hanya satu dua yang sudah terlihat permanen. Sisanya kebanyakan dari kayu dan bambu. Bangunan-bangunan ini merupakan tempat tinggal para pengungsi eks kelompok pro integrasi saat Referendum Timor Timur dilakukan pada 30 Agustus 1999. Pengungsi di wilayah ini sebagiannya sudah kembali ke Timor Leste karena mereka masih memiliki harta benda dan keluarga di sana.
Satu hal lagi yang menandakan kekhasan daerah ini. Menyusuri jalanan menuju PLBN Motamasin ini, bagi yang tidak biasa menjumpai bangunan bergapura megah di pinggir jalan yang dikelilingi lahan menghijau, tentu bertanya-tanya. Bahkan memasuki gapura itu disambung dengan bentuk taman layaknya boulevard yang memisahkan antara pintu masuk dan keluar. Gedung apakah itu gerangan?
Ya, itulah kompleks-kompleks gedung paroki gereja Katolik di wilayah Malaka. Di samping kanan dan kiri paroki itu dibangun pagar memanjang yang menandakan batas-batas paroki. Jika melihat gapura yang begitu megah, jangan ditanya berapa luasnya wilayah paroki-paroki itu. Paroki di wilayah ini bukan hanya sebagai tempat beribadahnya umat Katolik, melainkan juga sebagai tempat pengungsian di kala datangnya musibah banjir.
Gereja-gereja Katolik ini pula yang secara tidak langsung turut mengamankan para pengungsi dari Timor Timor waktu pelarian mereka setelah Referendum 1999 itu. Gereja-gereja ini menampung para pengungsi sebelum kemudian mereka ditempatkan di wilayah-wilayah yang mereka huni sekarang ini.
Baca juga: Langkah Kecil untuk Atasi Masalah Sampah Perkotaan yang Membesar
![]() |
Kawasan eks pengungsi Timor Timur (Dok. Istimewa) |
Namun kini tantangan tak luput hadir di depan mata. Walaupun pohon pisang begitu melimpah di Malaka, namun kondisi wilayah alam yang masih asri, di tambah posisinya lebih rendah ketimbang kabupaten lain dan berada bibir pantai, membuat ancaman banjir bisa datang sewaktu-waktu. Memang, banjir sering terjadi di sini.
Tragisnya, mereka rentan menjadi korban perdagangan manusia. Banyak dari mereka yang terancam keselamatannya di luar negeri, dideportasi pulang ke Indonesia dan bahkan hingga kehilangan nyawa.
Melipirnews
Komentar
Posting Komentar